Mohon tunggu...
Muh. Taufik
Muh. Taufik Mohon Tunggu... Wiraswasta - belajar dan terus belajar memperbaiki diri

berusaha selalu nyaman walaupun selalu dalam kekurangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Monarkhi vs Demokrasi

2 Desember 2010   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:06 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_77982" align="alignleft" width="300" caption="Senyum Pak Beye"][/caption] Pernyataan SBY terkait Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta menuai protes dari masyarakat Yogya, pernyataan Presiden bahwa tidak perlu lagi ada bentuk pemerintahan monarkhi dalam NKRI sangat menikam perasaan dan hati nurani masyarakat.Dimana-mana sampai dengan hari ini, rakyat Yogya beramai-ramai turun ke jalan memaksa SBY meminta maaf atas pernyataannya tersebut.

Jika ditilik dalam konstitusi kita, bentuk monarkhi tetap masih diakui,dalam UUD 45, coba kita lihat hasil amandemen Pasal 18B ayat (1) disitu tertulis:

“negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang**”

.Ayat 2 menyatakan : “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang”.

Jelas sekali pasal tersebut mengakui hal ini,lantas mengapa SBY bisa keseleo sejauh itu? Apakah tidak mengetahui isi UUD, ataukah ada niat lain dibalik pernyataannya itu?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaa inilah yang harus diketahui publik.

Seharusnya sebagai orang militer SBY ingat persis, bahwa Yogya dimasa penjajahan memegang peranan yang sangat penting sebagai kota perjuangan. Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah seorang penyokong penuh perjuangan menegakkan NKRI.

Apalagi dalam sejarah bangsa, Yogyakarta tidak pernah sekalipun tercatat pernah mengkhianati bangsa dan negara, Yogyakarta adalah kerajaan yang tetap menjunjung tinggi penghargaan terhadap pendapat rakyat. Kecintaan rakyatnya terhadap NKRI tidak perlu diragukan lagi. Ditempat inilah Jenderal Soedirman, Letkol Soeharto dan beberapa nama-nama penting lainnya pernah berjuang bahu membahu bersama rakyat membela tanah air, kelembutan khas masyarakatnya tidak mudah dipatahkan dengan kekerasan bersenjata sekalipun. Pemerintah wajib menghargai bentuk-bentuk kultural masyarakatnya, bukan sebaliknya malah mau menghapuskan. Yogya dan kraton adalah symbol budaya yang paling gampang di ingat orang lain jika berbicara tentang Indonesia. Jangan lupa satu hal penting lagi, Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Negara.

Jangan sampai semua kultur budaya di Indonesia tersinggung lantas bersatu menentang pemerintah. Ingat kraton bukan hanya ada di Yogya, putera-puteri berdarah biru masih banyak di seantero Nusantara, dan di akui atau tidak charisma mereka di masyarakat masih sangat kuat. SBY mestinya memikirkan itu. Itulah makanya di jaman Bung Karno, Pak Harto dan Presiden sebelumnya system monarkhi tetap hidup karena akan menjadi perekat di arus bawah.Meskipun wadah besar negeri ini adalah NKRI. Di Makassar saja masih sangat kental masalah pemimpin informal ini,bahkan balla lompoa (istana raja) terus diperbaiki dan dilestarikan.

[caption id="attachment_77993" align="alignright" width="300" caption="detic.honda-tiger.or.id "]

1291258075507133790
1291258075507133790
[/caption]

Lalu apa kepentingan SBY dengan berbicara seperti itu? Seolah-olah tidak mengerti persoalan seperti ini.

Sebagai kepala negara mestinya sudah mumpuni soal UUD 45, hafal tetek bengeknya.

Adalah hal yang sangat memalukan, jika nanti SBY benar-benar harus meminta maaf kepada rakyat. SBY tentu berfikir mau dibawa kemana muka ini. Serasa ditonjok orang satu pasar, hancur sudah citra yang dibangun sekian lama. Setelah meminta maaf akan muncul lagi tanggapan bahwa monarkhi menang melawan demokrasi. Tapi tidak meminta maaf juga pasti bakal dikerubuti terus menerus.Makin salah tingkah jadinya.

Mungkinkah ini adalah salah satu manuver politik untukmengukur tingkat elektibilitas Sri Sultan dalam Pilpres nanti? Bola panas ditendang, kemudian ditunggu siapa yang akan terbakar. Kita tunggulah babak selanjutnya.

Namun penulis percaya, dengan kesabaran ala Jawa yang dimilikinya, Sri Sultan akan tetap tenang. Sebagai orang yang arif, saya yakin beliau telah tahu makna dari ini semua. Salah satunya tentu untuk menguji kematangan emosi beliau. Kematangan emosi seorang pemimpin adalah hal yang sangat diperlukan, tetap tenang dalam kondisi apapun, tidak mudah panik, tidak gampang ketakutan, berani menghadapi tantangan, cermat dan tidak asal main tuding, dan terutama tidak selalu mencurigai rakyat sendiri.

Bagi penulis, kejadian ini menjadi penanda bahwa sebenarnya kehadiran kekuatan monarkhi di pentas politik sangat diperhitungkan oleh lawan-lawannya, karena itu panjang pendek kemampuannya di ukur mulai sekarang.

Akhirnya, seperti yang dikatakan oleh Ketua DPP PPP Lukman Hakim Syaifuddin “ sebaiknya kita jangan menggaruk yang tidak gatal,itu hanya akan menimbulkan iritasi yang tidak perlu”

Kalau sudah begini, apalagi yang bisa dilakukan selain menggaruk-garuk kepala.

Pusing dan stress sendiri gara-gara keseleo yang mestinya tidak perlu.

Sumber Gambar: Di SINI, Di SINI, dan Di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun