Nurcholis Madjid (Cak Nur) pernah menggemparkan Indonesia di era 1970-an dengan pernyataan "Islam yes, partai Islam no". Gagasan dari pernyataan Cak Nur ini kembali mengemuka di era 1990-an. Di mana saat itu, problem keislaman berhadapan dengan arus transformasi sosial, politik dan budaya.
Paska lengsernya Soeharto, wacana mengenai Islam, politik dan negara kembali mengemuka. Slogan Cak Nur itu kembali menjadi bahan perbincangan. Sementara, jauh sebelum runtuhnya rezim orde baru, pun Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menebar ide-ide tentang demokrasi dan pluralisme yang mewarnaitrenpemikiran (sekaligus perbincangan) di penghujung abad 20 itu. Saat itu Gus Dur sering berbicara mengenai pemisahan antara agama dan negara dalam berbagai forum diskusi, baik formal maupun non formal.
Cak Nur dan Gus Dur adalah representasi kelompok Islam-moderat di Indonesia, yang mengusung ide-ide tentang Islam yang humanis, pluralis, dan berlatarlocal geniousIndonesia. Tentu saja, bagi Cak Nur, Gus Dur dan kalangan Islam-moderat, ide tentang negara Islam–yang melahirkan kelompok-kelompok Islam-politik–di Indonesia itu tak lagi menarik.
Dengan gagasan "Islam yes, partai Islam no" itu, Cak Nur sebenarnya hendak menyelamatkan citra Islam dari klaim kelompok tertentu. Sebab, Islam seringkali menjadi lahan eksploitasi politik kelompok tersebut untuk mewujudkan kepentingan pragmatis mereka. Singkatnya, Islam menjadi bemper, alat dan atau mesin hasrat bagi kelompok yang mengatasnamakan Islam itu.
Selain itu, di mata Gus Dur Islam tak memiliki konsep yang jelas mengenai negara. Al-Quran tak pernah menjelaskan secara eksplisit mengenai bentuk negara tertentu. Sementara, sejarah Islam juga tak mewariskan adanya mekanisme yang mutlak dalam suksesi kepemimpinan. Menjadikan Islam sebagai ideologi negara, akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama. Dalam konteks Indonesia (atau negara yang masyarakatnya plural), menjadikan agama sebagai ideologi negara hanya akan melahirkan perpecahan.
Ide-ide Cak Nur dan Gus Dur itu, kini menjadi topik perbincangan yang masih menarik banyak kalangan. Memang, tema-tema mengenai "Islam, politik dan negara" tersebut menjadi renyah di perbincangan, lebih-lebih menjelang pemilihan umum (pemilu) seperti sekarang ini.
Memperbincangkan ide-ide Cak Nur dan Gus Dur di ranah pengetahuan, tentu saja hal itu menarik bagi kalangan Islam-intelektual. Meskipun, tak demikian bagi kalangan Islam-politik. Reaktualisasi ide-ide Cak Nur dan Gus Dur itu bisa dianggap tendensius sebagai upaya penggembosan suara partai Islam menjelang pemilu 9 April 2014 mendatang. Betapa pun, Islam-politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah intelektual Islam di Indonesia.
Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa sejarah intelektual Islam di Indonesia, mula-mula adalah lampiran dari kejadian-kejadian di Timur Tengah. Bahwa berdirinya gerakan tarekat di Timur Tengah juga berarti berdirinya tarekat di Indonesia; Puritanisme Wahabi di Timur Tengah menjelma menjadi Perang Padri di Sumatera Barat; Gerakan Pan Islamisme menjadi Syarekat Islam; Gerakan Khilafat menjadi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia); dan Gerakanal-Ikhwan al-Muslimundiasosiasikan dengan gerakan Masyumi.
Bagi Kuntowijoyo, kenyataan sejarah semacam itulah yang memunculkan stigma bahwa gerakan Islam di Indonesia adalah gerakan untuk mendirikan negara Islam. Sementara, menurutnya negara Islam sudah tidak lagi menjadi ideologi kebanyakan negara di Timur Tengah. Atau, negara Islam hanya sebagai simbol tanpa substansi.
***
Memperhatikan kampanye beberapa partai politik belakangan ini, saya tak menjumpai hal-hal menarik. Semuanya biasa-biasa saja, masih seperti tahun-tahun sebelum ini. Atribut-atribut partai menjadi sampah visual yang mengganggu pemandangan di sepanjang jalan. Arak-arakan motor dalam kampanye menciptakan kemacetan lalu lintas dan polusi suara. Sementara, dalam arak-arakan itu, di sana sini masih dapat dijumpai keterlibatan anak-anak di bawah umur.
Selain itu, politik uang(money politic)dan berbagai bentuk kampanye hitam(black campaign)lainya masih saja menjadi bagian dalam upaya menjaring perolehan suara. Rupanya, warisan budaya politik masa lalu itu telah mendarah daging bagi sebagian besar politisi di Indonesia.
Berbagai media mempertontonkan adegan tebar-menebar fitnah dan hujat-menghujat antar elit politik yang saling berseberangan. Mestinya, kalangan elit politik itu memberikan contoh positif yang bermanfaat bagi pendidikan politik bangsa ini. Tentu saja, ini merupakan dagelan yang memuakkan di saat menjelang pemilu beberapa hari lagi.
Ironisnya, beberapa elit partai Islam (dan atau yang mengatasnamakan Islam) tak kalah mengambil bagian dari adegan konyol itu. Media dengan gamblang mempertontonkan bagaimana beberapa elit dari partai Islam tersebut begitu fasih menghujat lawan-lawan politik mereka. Islam tidak lagi diposisikan sebagai ajaran yang memuat pesan-pesan moral keagamaan sekaligus landasan bagi prilaku politik mereka, melainkan hanyalahbackgroundatau tak lebih dari sekedar "sebuah simbol tanpa substansi". Prilaku kelompok Islam-politik ini justru memperburuk citra Islam di ranah publik. Faktanya, Islam hanyalah alat legilitimasi bagi tercapainya kepentingan mereka.
Kartasura, 04 April 2014
http://rantauanalwi.blogspot.com/2014/04/sebuah-simbol-tanpa-substansi.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H