Mohon tunggu...
Dr. Muh. Faisal MRa (Ical)
Dr. Muh. Faisal MRa (Ical) Mohon Tunggu... lainnya -

Bekerja sebagai Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar dengan disiplin Seni dan Kebudayaan. Saat ini menjabat sebagai Ketua Lontara Pustaka Propinsi Sulawesi Selatan. Aktif dalam penelitian, penggiat kajian antropologi kontemporer dalam upaya membaca keterjajahan budaya dalam narasi besar modernitas-postkolonial yang menggiring logika media, tekhnologi- industri kedalam pemadatan ruang/waktu, tanda, budaya melalui praktik-praktik sosial kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nestapa Kemiskinan Ada pada Diri Kita

17 September 2012   03:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:21 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh. Muh. Faisal, S.Pd.,M.Pd

Dosen UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi

Setelah menganalisis tulisan Muh. Iqbal Latief (Dosen Sosiologi Unhas) yang berjudul ‘Nestapa Kemiskinan (Juga) Tanggung Jawab DPRD’ di Harian Fajar Edisi 9 Mei 2012. Saya semakin curiga bahwa asumsi maupun persepsi terhadap fenomena sosial terutama kemiskinan senantiasa berpijak pada patron pemikiran pragmatis. Dikatakan pragmatis dikarenakan analisis wacana yang dilahirkan justru tidak lagi menjadi otokritik terhadap konsep pembangunan termasuk sistem kepemimpinan. Yang perlu diingat bahwa otokritik memberikan dampak positif terhadap sekelumit persoalan Bangsa, dengan catatan bahwa pendistribusian kritikan tersebut merepresentasikan realitas dengan menggunakan dalil informasi yang merujuk pada ilmu pengetahun. Apalagi Muh. Iqbal Latief merupakan penggerak ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, saya pikir tidak akan membantah simplifikasi ini apabila menggunakan dalil yang tepat.

Standar Kemiskinan yang Keliru

Variabel sesungguhya dalam topik ini adalah ‘kemiskinan’, mestinya penguraian wacana tersebut harus mampu memecahkan masalah kemiskinan secara holistik dan ilmiah, agar masyarakat Sul Sel dapat bangkit dalam pembangunan sektorialnya. Namun dalam tulisan Muh. Iqbal Latief cenderung melenceng bahkan disarati dengan aspek keberpihakan. Padahal sesungguhnya kita ketahui bahwa Keilmuan sosiologi mestinya harus netral menilik fenomena sosial sekaligus kelemahan peran-peran lembaga pemerintahan dewasa ini. Maka dari itu, jika dikatakan bahwa peran antara eksekutif dan legislatif harus sinergi dalam memecahkan persoalan kemiskinan, maka kita telah mengakui bahwa tingkat kemiskinan di Sul Sel adalah persoalan yang sangat signifikan (dengan jumlah kondisi miskin masih sekitar 835 ribu jiwa dengan jumlah penduduk Sul Sel di atas 8 juta jiwa). Yang perlu saya sampaikan saat ini adalah standar yang digunakan Bangsa ini dalam kategori kondisi miskin rata-rata berpenghasilan 220 ribu per-bulan (sumber: Data BPS dan litbang kompas). Sebuah sistem standarisasi pencitraan atas nama keberhasilan pemerintahan dalam meredam tingkat kemiskinan dengan ukuran yang tidak realistis. Jika saja standar yang digunakan misalnya 500 ribu perbulan, bisa dibayangkan besaran kemiskinan di Negeri ini. Standar tersebut juga digunakan secara nasional dengan menyimpulkan bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah 30,02 juta jiwa atau 12% dari total penduduk Indonesia. Dalam tulisan Muh. Iqbal Latief menyebutkan bahwa kemiskinan tidak hanya menjadi isu lokal, tapi sudah menjadi isu global. Olehnya patut direnungkan bahwa standarisasi yang digunakan dengan Bangsa lain sangatlah berbeda, yang tentunya berimplikasi dari besaran persentase kemiskinan di Indonesia, termasuk di Sul Sel.

Berikan Solusi

Kita harus mengakui bahwa, pembangunan Bangsa untuk keluar dari masalah kemiskinan tidak hanya sebatas penyusunan perda maupun tata kelola pemerintahan. Namun terlebih dari itu yang utama adalah perbaikan mental. Pemerintah yang telah membuat tiga Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan, bila tanpa memperbaiki mental masyarakat, mungkin hanya akan seperti menabur gula di laut. Rasa airnya takkan pernah menjadi manis. Mental masyarakat seperti itulah yang harus dibangun, bisa lewat kurikulum pendidikan di sekolah/kampus, lewat tontonan televisi yang mendidik, atau lewat berbagai media lainnya, hal ini juga senada dengan apa yang pernah ditanggapi oleh Ari Maulana. Tapi pemerintah dengan program BLT-nya (sekarang diganti menjadi Program Keluarga Harapan) justru seperti melestarikan budaya meminta-minta. Menyuruh si miskin antri hanya demi uang yang mungkin habis kurang dari sebulan. Selanjutnya pemerintah harus memiliki kebijakan yang menafkahi. Jangan bermimpi pemberdayaan bila si miskin masih lapar. Lalu yang terakhir pemerintah harus memiliki kebijakan yang memberdayakan. Pemerintah sebenarnya telah melakukan kebijakan yang memberdayakan dengan program PNPM Mandiri dan KUR yang merupakan bagian dari klaster II dan III Program Penanggulangan Kemiskinan, namun itu saja belum cukup. Persaingan usaha yang tidak berimbang dengan dominannya hypermarket yang dibangun berdekatan dengan pasar tradisional, atau hadirnya banyak minimarket di pelosok kampung, membuat banyak pedagang pasar dan warung terengah-engah. Harga yang kalah murah, membuat para pedagang kecil tersebut harus banyak berharap pada pembeli yang memiliki kepedulian tinggi, pembeli yang lebih memilih memberdayakan pedagang kecil daripada menambah kekayaan para pemodal super kaya.

Dari simplifikasi di atas, maka saatnya kita tidak lagi saling melempar tanggung jawab dalam menangani persoalan kemiskinan. Karena kemiskinan itu, juga ada pada diri kita dengan wujud yang lain. Dimulai dari kemiskinan mental, nurani, psikologi sampai pada kemiskinan budaya yang kini kita nikmati dengan bentuk keterjajahan baru (neo-kolonial). Olehnya Muh Iqbal Latief sebaiknya menguraikan wacana kemiskinan, berikut dengan aspek mendasar yang dapat diberikan sebagai sebuah pemecahan masalah. Bukan berdiri pada aspek kepentingan semata, yang berujung pada pelemparan tanggung jawab. Dari sini ‘komedi putar’ politik berjalan dengan tanpa meninggalkan sesuatu yang subtansial, termasuk kemiskinan. Persoalan kemiskinan membutuhkan penanganan serius. Coba kita lihat bagaimana kriminalisasi dan pengangguran yang menyisakan harapan. Disisi lain pemerintah ribut soal gaji masing-masing, lebih baik mereka mencontoh Nelson Mandela yang ketika memimpin Afrika Selatan, membuat kebijakan memotong gajinya sendiri demi menghemat anggaran negara. Disisi lain pemberantasan korupsi harus tanpa pandang bulu yang tentunya juga dapat menyelamatkan APBD, sehingga jatah subsidi rakyat dapat ditingkatkan. Saya pikir hal inilah yang harus dibangun dalam mengejewantahkan nilai-nilai kebudayaan Bugis-Makassar dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Karena spirit sipakatau lahir dari nurani dan mentalitas manusia, termasuk dalam menyelesaikan problematika kemiskinan yang melanda Bangsa ini. Sehingga untuk berbuat minimal kita mampu memahami bahwa nestapa kemiskinan ada pada diri kita.

(Tulisan ini juga pernah diterbikan di Harian Fajar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun