[caption id="attachment_379885" align="aligncenter" width="291" caption="Di ujung got dan jalan ini bertempat Pasar Got"][/caption]
Kami (saya dan suami) suka belanja sayuran di Pasar Solongang. Karena lebih mobile dibandingkan saya, suami sering mampir di lapak sayur langganan kami. Lapak milik Rian – lelaki beranak dua usia dua puluhan.
Kami suka berbelanja di lapak Rian, bukan hanya karena ia ramah. Rian suka menegur para pelanggannya secara personal. Selain itu, dia tak mematok harga tinggi. Bahkan kepada kami yang sudah sering bolak-balik berbelanja di lapaknya, dia suka memberi bonus ataupun potongan harga. Berbeda dengan ibu dan kakak perempuannya yang berjalan di sebuah lapak berjarak 10 meter dari tempat Rian. Harga barang dagangan mereka lebih mahal.
[caption id="attachment_379884" align="aligncenter" width="404" caption="Dagangan di Pasar Got"]
Nama pasar ini menjijikkan sebenarnya. Solongang (bahasa Makassar) berarti got. Dulu pasar tak resmi ini berada di sekitar got besar di salah satu sisi Jalan Harimau, menempati bahu hingga badan jalan. Letak got itu tegak lurus pada Jalan Veteran dan Jalan Harimau, di sebelah barat Jalan Rappocini Raya.
Seingat saya, sejak tinggal di Rappocini tahun 1989, pasar itu sudah ada dan menjadi pasar utama warga Jalan Veteran (yang tempat tinggalnya kira-kira berada dalam radius 500 meter dari pasar itu) dan warga Jalan Rappocini Raya yang rumahnya dekat dari Jalan Veteran.
Mulanya hanya ada beberapa penjual di pasar itu. Lama-kelamaan bertambah hingga nyaris bersambung dengan pasar tak resmi di sekitar Pasar Maricayya yang terletak tak sampai 500 meter di sebelah utara Pasar Solongang. Pasar Maricayyalah yang sebenarnya pasar resmi di area itu, menempati bangunan permanen yang disediakan oleh pemerintah Kota Makassar.
Lapak-lapak yang ada di Pasar Got dihamparkan seadanya. Hanya beralaskan terpal plastik dan beratapkan terpal plastik juga. Ada yang lebih sederhana lagi, tanpa atap sama sekali. Tetapi ada pula yang bertempat di rumah-rumah papan milik warga yang tinggal di situ.
Bukan hanya penjual sayuran yang ada di Pasar Solongang. Ada penjual pakaian (bekas dan baru). Ada penjual ayam dan tahu-tempe. Ada penjual sandal. Ada penjual bakso, penjual es cendol, penjual bahan-bahan kebutuhan pokok, dan penjual perkakas dapur.
Yang unik dan jualannya selalu laris-manis adalah satu-satunya lapak aneka lauk-pauk yang sudah jadi. Yang berjualan adalah sepasang suami-istri, dari pagi hingga menjelang siang. Biasanya menjelang siang dagangan mereka habis.
[caption id="attachment_379887" align="aligncenter" width="414" caption="Sambal goreng, tahu isi, burasa"]
Lauk-pauknya lumayan lengkap. Mau beli dengan nasi (dibungkus) bisa. Mau beli perbiji pun bisa. Ada tahu isi, tempe goreng, perkedel ubi, bikang doang (sejenis bakwan khas Makassar), ikan goreng, pallu mara (pindang ikan khas Makassar), pallu kacci (sejenis pindang ikan khas Makassar yang rasanya asam sekali), telur mata sapi, burasa’ (makanan pokok tradisional Bugis/Makassar yang terbuat dari beras, dimasak dengan santan, lalu dibungkus daun pisang), kari tempe, sambal goreng, dan beberapa jenis sayuran dan sup masak.
[caption id="attachment_379889" align="aligncenter" width="260" caption="Bapak ini sedang menggoreng bikang doang (sejenis bakwan)"]
Harganya murah. Perkedel, tempe goreng, dan tahu isi bisa diperoleh dengan harga Rp. 500 per potongnya. Ikan ukuran sedang seharga Rp. 3.000. Burasa’-nya seharga Rp. 3.000 per ikat (satu ikat terdiri atas 2 bungkus). Sedangkan sayuran/sup sudah bisa diperoleh dengan harga Rp. 2.000 per mangkuknya.
Saya pernah bertemu dengan seorang ibu sepuh yang memberi aneka lauk-pauk untuk pekerja di kantor menantunya. Sesekali saya pun membeli lauk-pauk di situ. Yang sering saya beli adalah perkedel ubi dan sup kacang merahnya. Sesekali saya membeli burasa’ kesukaan si sulung Affiq.
Setelah harga BBM naik, saya belum pernah lagi membeli lauk jadi di Pasar Solongang. Entah bagaimana caranya pedagang lauk menyiasati harga barang-barang dagangannya di tengah carut-marutnya kondisi perekonomian warga kelas menengah ke bawah saat ini. Beberapa warung makanan di sekitar rumah saya belum menaikkan harga jual mereka. Yang harganya Rp. 500 masih seharga itu hanya saja ukurannya sedikit lebih kecil atau campuran tepungnya sedikit lebih banyak daripada sebelum harga BBM naik. Yah, mudah-mudahan saja keberadaan penjual-penjual lauk jadi masih tetap bisa bersimbiosis mutualisme dengan warga kelas menengah ke bawah di sekitarnya walau harus terus bersiasat.
Makassar, 2 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H