[caption id="attachment_218924" align="aligncenter" width="512" caption="TPA Babul Jannah"][/caption] Sinergi Dua Bintang
Hampir semua warga RW 1 kelurahan Rappocini, kecamatan Rappocini, kota Makassar mengenal pak Haryadi. Jika ia berjalan kaki di sekitar RW ini, banyak yang menegur lelaki sederhana berusia enam puluh tahun asal kabupaten Sidrap (Sulawesi Selatan) ini. Bahkan pernah di malam hari, saat berpapasan dengan seorang pemabuk yang sudah lupa diri, pemabuk itu menepi sesaat demi melihat pak Haryadi dan berseru menyapanya, “Eh ... Puang!”
Oleh sebagian besar warga yang mengenalnya, lelaki yang kerap menjadi imam shalat berjama’ah dan penceramah di masjid-masjid sekitar RW 1 ini disapa dengan “Puang”, suatu sapaan yang menunjukkan bahwa yang disapa memiliki strata sosial kelas bangsawan Bugis. Tak seperti banyak bangsawan Bugis lainnya, ia sendiri sebenarnya tak menuntut disapa seperti itu, namun sudah menjadi kebiasaan warga untuk menyapa demikian kepada orang yang dianggap pantas.
Pak Haryadi bersama ibu Najmiah (istrinya), mendirikan dan mengelola yayasan Babul Jannah yang berkegiatan di rumah mereka di jalan Rappocini Raya lorong tiga Makassar. Yayasan ini mengayomi tidak hanya anak-anak yang ingin belajar mengaji di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), tetapi juga orang dewasa yang ingin belajar mengaji atau memperlancar bacaannya.
[caption id="attachment_218925" align="alignleft" width="415" caption="Anak-anak usia SD sedang belajar mengaji"]
Pasangan suami istri ini juga melibatkan putra-putri mereka dalam mengajar mengaji. Selain itu ada pula dua orang guru lain yang mengajar mengaji di tempat ini. Suatu kemewahan yang jarang terjadi jika total jumlah uang iuran bulanan yang terkumpul dari para santri ini bisa dibagi hingga masing-masing guru mendapatkan honor dua ratus ribu rupiah. Jika iuran yang terkumpul minim, prioritas diberikan kepada guru-guru mengaji yang bukan anggota keluarga agar beroleh honor yang layak. Bagi pak Haryadi sekeluarga, mendapatkan honor yang sangat minim atau tidak pun, tidak menjadi masalah. Dedikasi mereka terhadap keberhasilan pendidikan baca al-Qur’an di daerah ini jauh lebih besar daripada masalah honor.
[caption id="attachment_218926" align="alignright" width="300" caption="Ujian kelulusan TPA, penguji itu utusan dari departemen Agama kotamadya"]
[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Para santri(wati) yang diwisuda berfoto bersama"]
Selain itu sebagai penyemangat, pada setiap akhir tahun ajaran, pak Haryadi dan ibu Najmiah menanyakan prestasi belajar para santri di SD mereka. Sebelumnya mereka harus memperlihatkan buku rapor sebagai bukti. Para pemegang predikat jawara satu di kelasnya diberikan hadiah peralatan sekolah berupa buku-buku tulis, dan peralatan sekolah lainnya yang dibungkus cantik dengan kertas kado. Sumber dananya sudah tentu dari kocek pribadi pasangan suami-istri ini. Bagi mereka, tak mengapa merogoh kocek pribadi untuk menyemangati anak-anak belajar. Secara tidak langsung, para santri TPA Babul Jannah termotivasi untuk belajar dengan baik di sekolah mereka masing-masing.
[caption id="attachment_218930" align="alignright" width="300" caption="Anak-anak usia pra sekolah belajar meronce"]
Animo warga sekitar meningkat, santri pra sekolah yang terdata mencapai angka tiga puluh anak. Kegiatan belajar-mengajar dilangsungkan pada hari Ahad dan hari-hari libur nasional. Pak Haryadi dan ibu Najmiah bahu-membahu mengajar mereka. Sekolah informal ini tidak berbayar. Anak-anak hanya dibiasakan bersedekah setiap masuk sekolah. Rata-rata mereka menyisihkan seribu rupiah hingga lima ribu rupiah setiap kali datang. Dana yang terkumpul tidak seberapa dan biasanya digunakan kembali untuk kebutuhan belajar para siswa seperti untuk membeli kertas gambar, krayon, permainan, dan sebagainya.
[caption id="attachment_218931" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak usia pra sekolah tampil di acara 17 Agustusan kelurahan, bertempat di halaman masjid, dipandu pak Haryadi"]
Selang beberapa bulan berjalan, pak Haryadi beserta ibu Najmiah merasa perlu meningkatkan jam belajar para santri ciliknya menjadi empat kali dalam sepekan, yaitu pada setiap hari Selasa, Kamis, Jum’at, dan Ahad. Duo ini kemudian mengusahakan pengajuan proposal ke dinas Pendidikan Nasional setempat agar bisa mengeluarkan ijazah TK bagi para siswanya. Hal ini tentunya akan sangat membantu masyarakat sekitar memperoleh ijazah TK bagi anak mereka. Saat ini banyak SD negeri yang memprioritaskan memilih calon siswa yang ber-ijazah TK ketimbang yang tidak memilikinya, sementara untuk masuk TK biayanya cukup mahal.
Satu Bintang Itu Akan Tetap Bersinar Terang
[caption id="attachment_218934" align="alignleft" width="300" caption="Koleksi piala yayasan Babul Jannah"]
Lembaga Kesejahteraan Ummat “Amanah” adalah lembaga swadaya masyarakat yang langsung dibina oleh lurah Rappocini. Organisasi ini menyalurkan infaq/sedekah kepada warga sekitar yang tidak mampu. Yaitu berupa bantuan modal usaha kecil, perlengkapan pendidikan bagi anak-anak mereka, bantuan kepada warga yang sakit, dan kain kafan beserta perlengkapan jenazah.
[caption id="attachment_218937" align="alignright" width="300" caption="Koleksi perpustakaan sederhana di Babul Jannah"]
Di pendidikan pra sekolah, pak Haryadi seorang diri mengajar dan menggembirakan anak-anak, sesekali ia dibantu oleh putri-putrinya. Ia tampak sabar menghadapi para cilik yang atraktif itu. Ia masih juga membuat sendiri perlengkapan belajar mereka. Jika ia dengan ditemani anaknya survei ke toko dan mendapatkan harga yang tinggi untuk perlengkapan yang dicarinya, seketika itu ia memutuskan untuk tidak membelinya. Ia mempelajari bentuk dan struktur dari perlengkapan tersebut, pulang ke rumah dan mencari bahan-bahan lalu membuat perlengkapan itu dengan tangannya sendiri.
[caption id="attachment_218938" align="alignleft" width="300" caption="Anak-anak kecil ini sedang senam, sambil melihat tuntunan gerakannya di tayangan TV, dari DVD player"]
Untuk menggugah anak-anak supaya mau tampil baca do’a atau bernyanyi, mereka dibebaskan menggunakan mikrofon. Setiap hari sekolah mereka bisa nonton lagu-lagu anak-anak yang diputar di DVD player. Di sekolah-sekolah yang berbayar mahal, belum tentu ada yang seperti ini. Biasanya mikrofon atau DVD player, dan televisi hanya sekedar menjadi pajangan bahwa sekolah memiliki alat bantu itu. Hanya pada saat-saat tertentu saja digunakan. Belum tentu anak-anak bebas menggunakannya, apalagi digunakan setiap hari seperti di sekolah santri mungil Babul Jannah ini.
Kerikil yang Menghadang
[caption id="attachment_218939" align="alignright" width="300" caption="Waktu belum ada meja dan kursi, anak-anak ini bermain dan belajar di bangku rendah atau di lantai"]
[caption id="attachment_218940" align="alignleft" width="300" caption="Huruf-huruf ini, alat belajar yang dibuat sendiri oleh pak Haryadi"]
Padahal laju kurikulum sekarang bergerak sangat cepat dan muatannya sangat banyak. Maksudnya, bahan-bahan yang dulunya masuk dalam bahasan kurikulum siswa SMP, sekarang ini sebagian pindah ke SD. Ini menuntut: mau tidak mau, suka tidak suka, anak-anak sudah harus bisa membaca tulisan berbahasa Indonesia sebelum masuk SD, pula sudah harus tahu huruf Hijaiyyah, bisa membacanya, dan menuliskannya. Jika dua puluh atau tiga puluh tahun lalu masih sangat mungkin anak-anak masuk SD tanpa bekal sama sekali – semisal belum mengenal huruf, sekarang tidak demikian. Mereka yang masuk SD tanpa bekal akan jauh tertinggal dari apa yang seharusnya mereka capai. Sementara guru-guru kelas 1 SD sekarang tidak bisa secara khusus mengajar anak-anak muridnya satu demi satu untuk mengenal huruf karena waktu ajar yang tersedia harus dimanfaatkan seefisien mungkin agar semua muatan kurikulum selesai diberikan tepat waktu.