“Ayo pulang, sudah maghrib!” seru saya kepada anak-anak yang sedang asyik bermain.
Saya kemudian membereskan barang-barang, berupa kemasan ‘kenang-kenangan’ dari kerabat yang mengadakan pesta ulangtahun anaknya di restoran ayam goreng itu.
Tiba-tiba seorang bapak yang sedang duduk bersama istri dan anak-anaknya di dekat saya berkata, “Bu, coba dicek ayamnya. Ayam saya bau, tadi juga banyak yang komplain. Ini, saya baru tukar ayamnya. Tapi kelihatannya sama saja. Yang ini pun bau.”
Saya memperhatikan kantung-kantung plastik berisi ayam goreng dan minuman di tangan saya.
Bapak itu melanjutkan perkataannya, “Coba dicek, Bu. Tukar saja ayamnya. Kasihan kalau dibawa pulang, di rumah juga tidak bisa dimakan. Percuma.”
Betul juga. Daripada dibawa pulang dan ternyata memang tidak bisa dimakan, kasihan anak-anak.
Saya membuka satu bungkus, dan menyuwir ayamnya.
“Coba dicium, Bu,” kata bapak itu.
Saya mencium aroma ayam goreng itu. Baunya memang agak lain.
Saya kemudian membuka kemasan-kemasan yang lain. Ada satu ayam yang parah, di dalam dagingnya masih ada warna kemerah-merahan. Saya cium aromanya. Iiiih, agak bau memang. Saya periksa lagi ayam-ayam yang lain, salah satunya kelihatan seperti agak berlendir.
Saya memperlihatkan ayam goreng bau yang dagingnya masih kemerahan itu kepada bapak itu dan istrinya. “Iya Pak. Ayam Saya juga tidak bagus.”
“Tukar saja Bu, bisa koq,” tukas bapak itu.
Saya pun mengembalikan ketiga potong ayam goreng itu di tempatnya dan membawanya menuju service counter. Saya memberikan ayam itu dan menyampaikan keluhan kepada salah seorang waitress. Sang waitress menerima bungkusan-bungkusan itu tanpa sepatah kata pun. Ia membawanya ke dalam.
Di dalam, terlihat kasak-kusuk seorang pegawai perempuan yang dari pakaiannya kelihatan posisinya di atas waitress, dengan dua orang pegawai laki-laki berdasi. Kedua laki-laki berdasi ini pun kelihatannya bukan waiter, sepertinya posisi mereka di atas waiter.
Seorang ibu dengan dandanan apik yang baru saya sadari kehadirannya, mengajukan komplain kepada seorang pegawai laki-laki berdasi yang tergopoh-gopoh keluar dari service counter.
“Ayam Saya bau, Pak. Tadi Saya makan, rasanya lain,” komplainnya.
“Masih bagus itu, Bu,” kata si pegawai berdasi. Dari pembicaraan orang-orang yang berdiri hanya sekitar dua langkah dari saya itu, kedengarannya bapak berdasi itu tak mau begitu saja dicela. Ia mencoba membela diri dengan argumen yang terdengar lemah.
Saya merasa terusik. Saya pun mencoba bersuara dengan agak keras, “Ayam Saya juga bau, Pak. Saya tadi menerima paket ulangtahun.”
Ibu dengan dandanan apik itu berujar, “Saya tidak makan paket ulangtahun. Saya beli sendiri.”
Entah apa lagi yang dikatakan pegawai berdasi itu, pikiran saya terpecah dengan kehendak memperhatikan keadaan di service counter. Memperhatikan nasib bungkusan yang saya komplain.
Si mbak – pegawai perempuan itu keluar dari dapur.
Ibu dandanan apik mengulangi komplainnya kepada si mbak. Si mbak mengatakan, ayam penggantinya sedang dimasak.
Saya juga mengutarakan kepadanya komplain saya.
Wajahnya kelihatan tegang.
Tanpa senyum, ia hanya berkata, “Iya, sebentar Bu.”
Tak berapa lama kemudian, seorang ibu berjilbab hitam mendekat. Rupanya ia mengajukan komplain yang sama, “Ayamnya bau!” kepada si mbak itu.
Merasa mendapatkan teman, ibu dandanan apik mengulangi lagi komplainnya. Ia menyatukan pendapat dengan ibu berjilbab hitam.
Saya menanyakan kepada si mbak, “Masih lama ya?”
Si mbak menjawab, “Yang ulangtahun sebentar, Bu.”
Dalam dialek Makassar, kalimat ini maksudnya, yang mendapatkan paket ulangtahun belakangan baru ditangani.
Kepada ibu dandanan apik, ia menawarkan apakah ayam goreng baunya hendak diganti dengan jenis makanan lain.
Saya masih memelototi si mbak, berharap masih bisa mendapatkan penyelesaian.
Lalu ia menoleh kepada saya dan mengulangi perkataannya, “Yang ulangtahun, sebentar Bu.”
“Oh, rupanya ia hendak melayani ‘yang membeli sendiri ya, baru setelah itu yang gratisan’,” saya membatin.
Oke, saya masih menunggu. Tapi mata saya mulai gelisah melihat jam dinding di dalam sana. Jam itu menunjukkan pukul 18.30. Saya sedang berhalangan shalat, tapi anak saya harus shalat maghrib.
Bapak yang tadi menyarankan kepada saya untuk menukar ayam goreng bau itu menghampiri service counter. Sambil memperlihatkan kemasan ayam goreng yang dipegangnya ia berkata, “Yang ini juga bau. Kalau ditukar masih bau begini sudahlah, lebih baik tak usah saja.” Ia menggeletakkan bungkusan ayam goreng bau itu dan kembali ke mejanya.
Saya mulai menimbang-nimbang, apakah hendak menunggu atau pulang saja. Anak kedua saya datang dari arah tempat bermain. “Ma, pipis,” katanya.
Saya membawanya ke kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi, saya kembali ke service counter. Ibu dandanan apik sudah mendapatkan pengganti ayam goreng baunya. Waduh kapan giliran saya? Saya gelisah. Keinginan untuk pulang semakin besar. Si mbak dari tadi masih berdiri membelakang saja, sedang mengerjakan sesuatu rupanya.
Tak ada yang bisa ditanyai, semuanya kelihatan sibuk dan tegang.
Akhirnya saya memutuskan memanggil anak-anak dan berkemas.
Kerabat yang mengadakan pesta masih ada. Kepadanya saya memberitahu kejadian ayam goreng bau itu.
Ia mengiyakan dan berkata, “Sorry ya. Sudah ganti?”
Saya balas berkata, “Tidak apa-apa. Tidak usah ah, lama sekali. Bukan hanya paket ulangtahun yang bau, tadi ada yang beli sendiri juga begitu. Dan tadi Saya lihat mereka tidak mengeluarkan ayam goreng lagi. Sepertinya yang dimasak tadi begitu semua.” Memang, saya mendengar ada seorang pembeli yang berkata, “Ayamnya habis,” kepada kawannya setelah dari service counter. Padahal tidak pernah ada istilah ‘ayam goreng habis’ di restoran ayam goreng.
Saya pun pamit pulang.
Lebih baik mengejar waktu maghrib untuk anak saya daripada menunggu jatah pengganti ayam goreng paket ulangtahun yang tidak tahu kapan datangnya karena sepertinya yang diladeni terlebih dulu yang membeli langsung di service counter sementara ibu berjilbab hitam itu masih berdiri di sana.
Mudah-mudahan kerabat yang mengadakan hajat mendapatkan ganti rugi yang sesuai dari pihak restoran karena ia telah mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk hajatan ini dan semoga pihak restoran mengerti ada hal yang tak dapat diganti rugi, yaitu rasa malu terhadap tetamu yang menghadiri pesta.
Makassar, 5 November 2011
*Kejadian di restoran ***, di sebuah mal, Makassar menjelang maghrib
Selamat hari raya idul adha. Tulisan ini saya tulis apa adanya, dengan jujur. Tak mungkin saya tambah-tambahi karena tak ada untungnya bagi saya, apalagi esok adalah salah satu hari raya saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H