Pfuh ...
Pada beberapa hari ini saya belajar beberapa hal dari tamparan seorang Titi.
Bukan hendak memperpanjang polemik kawan. Kasus ini sudah ditutup setelah berita Cerita Panjang Akun Kompasiana Bernama Titi dari admin Kompasiana dirilis kemarin. Hanya hendak menelusuri bekas-bekas tamparan Titi yang masih terasa.
Kompasiana sungguh merupakan media yang menarik. Di sini, ada banyak hal bisa diperoleh: bukan hanya belajar membuat tulisan yang menarik judul dan isinya sehingga banyak orang tertarik untuk menerima ini sebagai tantangan agar mendapatkan pembaca sebanyak mungkin. Imbasnya, seorang kompasianer bisa menjadi populer, kawan. Populer itu asyik. Populer itu melenakan.
Predikat terverifikasi ternyata bukan jaminan bahwa yang ditulis seseorang itu bukan kebohongan. Bisa jadi orangnya ada namun kisah atau berita yang ditulisnya adalah fiksi. Ah Titi, seandainya sejak awal kamu memilih kanal Fiksi untuk mempublikasikan tulisan-tulisanmu lalu belajar menulis fiksi dengan sungguh-sungguh (saya yakin peminat fiksi di Kompasiana pasti banyak yang bersedia mengajarimu), mungkin saja tulisan-tulisanmu bisa dibukukan lho.
Namun kini apa yang terjadi. Kamu bagai dihempas ke tanah seketika dari balkon bernama popularitas itu. Hanya satu kali jentik jari BLAS ... akunmu amblas. Sungguh sayang sebenarnya karena ada potensi besar dari dalam dirimu jadi tertutup jalannya untuk dieksplorasi. Kamu menyia-nyiakan media besar yang bisa mengantarkanmu ke jenjang berikut dari kepopuleranmu, dari hanya sekadar penulis berita dengan pembaca terbanyak.
Hanya karena satu hal yang tak ada dalam dirimu Titi: kejujuran. Ya, jujur sejatinya terintegritas dalam dirimu. Dan hari ini saya benar-benar sadar, bahwa bukan hanya dirimu yang harus memiliki kejujuran yang terintegritas itu Titi, bukan. Semua kompasianer harus memilikinya. Dan integritas itu bukannya terjadi satu dua hari ini saja. Bukannya terjadi saat ada orang yang datang hendak menyelidiki keakuratan tulisan kita.
Tetapi ia seharusnya terbentuk bertahun-tahun lalu sejak kita masih kecil, atas didikan orangtua kita, atas pemahaman agama kita. Bahkan sejak kita dalam kandungan ia sudah diusahakan oleh orangtua kita – karena mereka pun telah mengintegrasikan kejujuran dalam karakter mereka sejak lama, berkat ajaran kakek-nenek kita dan berkat pemahaman akan ajaran agama kita. Kemudian kejujuran itu kita bawa ke mana pun kita pergi, mengejawantah dalam setiap perilaku kita.
Untuk suatu ironi: terimakasih Titi atas tamparanmu yang telah mengobrak-abrik naluri keibuanku yang naif. Setidaknya masih ada yang bisa dipelajari dari peristiwa ini. Satu poin besar saya garisbawahi lagi, ini PR besar bagiku yang memiliki tiga buah hati, untuk serius mengusahakan kejujuran terintegrasi dalam karakter ketiganya. Satu tanya kini menggelayut, “Bagaimana perasaan orangtuamu Titi jika tahu hal ini?”
Makassar, 24 November 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H