emisi karbon. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), emisi dari sektor lahan gambut dan deforestasi, yang sebagian besar terkait dengan perkebunan kelapa sawit, berkontribusi hingga 62% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Aktivitas pembukaan lahan, pengolahan, dan distribusi kelapa sawit menjadi sumber utama emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim global.Â
Industri kelapa sawit memiliki peran strategis bagi perekonomian Indonesia. Selain menjadi sumber devisa utama, industri ini juga menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi pada pengentasan kemiskinan di daerah perkebunan. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, sektor kelapa sawit menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung dan tidak langsung. Sektor ini juga menghasilkan devisa negara dengan rata-rata sebesar USD 22-23 miliar pada tiap tahun yang menjadikannya salah satu kontributor utama bagi perekonomian nasional. Namun, industri ini menghadapi tantangan lingkungan yang signifikan, terutama terkait denganSebagai upaya untuk mengatasi tantangan ini, teknologi blockchain muncul sebagai solusi inovatif. Blockchain adalah sistem pencatatan digital terdesentralisasi yang memungkinkan setiap transaksi atau data yang tercatat tidak dapat diubah dan transparan bagi semua pihak yang terlibat. Dalam konteks pengelolaan emisi karbon, blockchain memiliki potensi besar untuk meningkatkan transparansi, akurasi, dan integritas data yang penting dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi karbon. Menurut data World Economic Forum, penggunaan teknologi digital termasuk blockchain dapat membantu mengurangi hingga 20% emisi global melalui peningkatan efisiensi operasional, termasuk di sektor agrikultur.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengelola emisi karbon di industri kelapa sawit adalah kurangnya transparansi dalam pelaporan dan verifikasi data emisi. Penggunaan blockchain memungkinkan setiap aktivitas yang menghasilkan emisi karbon tercatat secara real-time dan transparan. Setiap tahap produksi kelapa sawit, mulai dari pembukaan lahan, pengolahan, hingga distribusi, dapat dilacak jejak karbonnya dalam sistem blockchain. Dengan teknologi ini, data emisi dari berbagai sumber dapat disimpan secara aman, terdesentralisasi, dan tidak dapat dimanipulasi. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik terhadap data yang disajikan, tetapi juga memungkinkan auditor dan regulator untuk memantau kepatuhan industri terhadap standar emisi yang ditetapkan. Selain meningkatkan transparansi, teknologi blockchain juga mendukung mekanisme carbon credits yang lebih efisien. Carbon credits adalah sertifikat yang menunjukkan bahwa perusahaan telah berhasil mengurangi emisi karbonnya di bawah batas yang ditentukan. Dengan blockchain, sertifikat ini dapat dipantau dan diperdagangkan dengan lebih mudah dan akurat.
Blockchain memastikan bahwa setiap kredit karbon yang diperdagangkan berasal dari pengurangan emisi yang valid dan terverifikasi. Di sektor kelapa sawit, perusahaan yang berhasil menurunkan emisi karbon melalui praktik keberlanjutan, seperti penggunaan energi terbarukan atau pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, dapat menerima carbon credits. Sertifikat ini kemudian dapat dijual atau diperdagangkan dengan perusahaan lain yang membutuhkan kompensasi emisi karbon. Dengan demikian, blockchain membuka peluang baru bagi industri kelapa sawit untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.
Blockchain juga memiliki potensi besar dalam mendukung penerapan kebijakan pajak karbon. Pajak karbon adalah biaya yang dikenakan kepada perusahaan berdasarkan jumlah emisi karbon yang mereka hasilkan. Dalam skema ini, blockchain dapat digunakan untuk memantau jejak emisi karbon setiap perusahaan secara transparan. Dengan data yang tercatat secara digital dan tidak dapat diubah, pajak karbon dapat dikenakan secara lebih adil dan akurat. Saat ini, Indonesia telah berencana menerapkan pajak karbon pada berbagai sektor, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan beberapa industri besar lainnya. Pajak karbon ini ditetapkan pada Rp 30.000 per ton CO2e mulai tahun 2025, yang bertujuan untuk memaksa perusahaan mengurangi emisi karbon mereka. Namun, kebijakan ini seharusnya tidak hanya berlaku untuk sektor PLTU saja, tetapi juga untuk semua industri, termasuk sektor kelapa sawit yang berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon.
Dengan penerapan pajak karbon di sektor kelapa sawit, blockchain dapat membantu memantau emisi karbon secara akurat dan transparan. Perusahaan yang berhasil mengurangi emisi mereka dapat memperoleh pengurangan pajak sebagai bentuk insentif, sementara perusahaan yang tidak memenuhi target dapat dikenakan pajak yang lebih tinggi. Teknologi ini akan memastikan bahwa setiap data yang digunakan dalam perhitungan pajak karbon berasal dari pengukuran yang valid, menghindari potensi manipulasi data.
Penerapan teknologi blockchain dalam industri kelapa sawit merupakan langkah inovatif yang dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemantauan emisi karbon. Dengan data yang tercatat secara aman dan tidak dapat diubah, blockchain memungkinkan pelaporan emisi yang lebih akurat dan mendukung mekanisme carbon credits serta penerapan pajak karbon. Kebijakan pajak karbon juga harus berlaku untuk seluruh industri, termasuk kelapa sawit, agar Indonesia dapat mencapai target Net Zero Emission. Dengan adopsi teknologi ini, industri kelapa sawit Indonesia dapat berperan lebih besar dalam penanganan perubahan iklim global, sambil mempertahankan kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Blockchain dapat memastikan bahwa langkah-langkah keberlanjutan yang dilakukan oleh industri kelapa sawit diakui secara global, sekaligus memberikan solusi konkret untuk mengurangi emisi karbon di sektor agrikultur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H