Literasi budaya merujuk pada kemampuan seseorang untuk memahami, menghargai, dan bersikap terhadap berbagai aspek budaya, baik yang berkaitan dengan budaya sendiri maupun budaya lain. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2023), literasi budaya melibatkan pengetahuan tentang sejarah, kontribusi, perspektif, serta nilai-nilai yang ada dalam budaya tersebut. Literasi budaya tidak hanya mencakup elemen yang terlihat seperti bahasa, makanan, dan pakaian, tetapi juga nilai-nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang membentuk kerangka sosial dan identitas individu (Masita, 2022; Chigeza, 2015).
Di era globalisasi ini, penguatan literasi budaya di kalangan generasi muda menjadi semakin penting. Globalisasi membawa arus informasi dan budaya asing yang dapat mengaburkan identitas budaya lokal, terutama di kalangan generasi muda yang lebih terpapar oleh budaya global. Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa semakin banyak generasi muda yang kurang mengenal budaya lokal mereka akibat dominasi budaya global. Hal ini berpotensi mengakibatkan kehilangan jati diri budaya dan penurunan rasa kebanggaan terhadap warisan budaya bangsa. Dengan memperkuat literasi budaya, generasi muda dapat lebih memahami dan menghargai kekayaan budaya mereka, sehingga mampu menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitasnya.
Lebih lanjut, ketidakpahaman terhadap budaya lokal dapat mengarah pada sikap eksklusif dan intoleransi terhadap perbedaan budaya. Seperti yang diungkapkan oleh UNESCO (2022), penguatan literasi budaya berperan penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang budaya sendiri dan budaya lain, akan sulit bagi generasi muda untuk berkontribusi dalam membangun kohesi sosial dan menjalin hubungan yang konstruktif di masyarakat yang beragam.
Literasi budaya mencakup beberapa aspek penting. Pertama, literasi budaya berbasis pengetahuan, yang melibatkan pemahaman tentang sejarah, adat istiadat, dan kontribusi budaya lokal serta global. Ini termasuk pengenalan terhadap berbagai unsur budaya seperti bahasa daerah, tradisi, dan seni. Kedua, literasi budaya berbasis keterampilan, yaitu kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, menerapkan nilai-nilai budaya dalam interaksi sosial, dan mengembangkan kebiasaan yang mendukung pelestarian budaya (Masita, 2021).
Selain itu, literasi budaya juga melibatkan sikap kritis dan reflektif terhadap budaya. Ini berarti tidak hanya memahami budaya dari perspektif yang ada, tetapi juga dapat menganalisis dan mengevaluasi elemen-elemen budaya secara mendalam. Sikap ini membantu generasi muda untuk tidak hanya menerima budaya secara pasif tetapi juga berperan aktif dalam melestarikannya dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman (Chigeza, 2015).
Penguatan literasi budaya memiliki manfaat besar dalam pembentukan karakter generasi muda. Menurut penelitian oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2023), literasi budaya yang baik dapat membentuk karakter yang tangguh dan humanis dengan meningkatkan rasa identitas dan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Generasi muda yang memahami nilai-nilai budaya mereka akan lebih mampu menghadapi tantangan global dengan kesadaran dan penghargaan terhadap kekayaan budaya mereka, sehingga dapat beradaptasi dengan lebih baik di masyarakat yang beragam.
Lebih jauh lagi, literasi budaya membantu membangun sikap inklusif dan toleran. Sebuah studi oleh UNESCO (2022) menunjukkan bahwa pemahaman yang baik tentang budaya sendiri dan budaya lain dapat mengurangi konflik dan kesalahpahaman antar kelompok. Generasi muda yang memiliki literasi budaya yang tinggi akan lebih mampu menjalin hubungan yang harmonis dan konstruktif dengan berbagai kelompok sosial, sehingga dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang damai dan adil.
Salah satu hambatan utama dalam penguatan literasi budaya adalah kurangnya perhatian terhadap aspek budaya dalam sistem pendidikan formal. Kurikulum yang lebih berfokus pada pencapaian akademis sering kali mengabaikan pendidikan budaya yang mendalam. Untuk mengatasi hal ini, kurikulum pendidikan perlu diperbarui untuk mencakup materi-materi budaya secara lebih integratif, termasuk dalam kegiatan ekstrakurikuler dan proyek-proyek sekolah yang melibatkan seni dan budaya lokal.
Hambatan lainnya adalah dominasi budaya global yang sering menggeser perhatian generasi muda dari budaya lokal. Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya inovasi dalam penyajian budaya lokal yang relevan dengan minat generasi muda, seperti melalui media sosial dan platform digital. Menggunakan teknologi untuk memperkenalkan budaya lokal dalam format yang menarik dan mudah diakses dapat membantu generasi muda tetap terhubung dengan warisan budaya mereka sambil tetap terlibat dalam dunia digital.
Harapan untuk ini adalah agar generasi muda Indonesia tidak hanya memiliki pemahaman yang mendalam tentang budaya mereka sendiri, tetapi juga mampu menghargai dan berkontribusi pada budaya global dengan cara yang positif. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi, diharapkan generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas dalam bidang akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, inklusif, dan humanis.