Aku anak kemarin sore.
Tumbuh di dalam kembang kempis sebuah dunia:
yang lari dari masa lalu
lari dari perang bertalu-talu
Aku anak kemarin sore.
Tetapi kenapa aku masih mencium bau hangus mesiu.
Bau dengus napas busuk yang tamak.
Bau bangkai-bangkai yang terkubur
Aku anak kemarin sore.
Aku melihat reruntuhan zaman
aku menyaksikan perang dalam tulisan
aku mendengar bising artileri
membumihanguskan kata kata
demi keberlangsungan hidup raja raja.
Aku melihat orang-orang tak berdaya dan terhina.
Muak melihat tentara
muak mendengar deru tank baja
yang letupan nya selalu mengancam banyak nyawa.
Aku melihat orang-orang marah dan bosan dengan keadaan
Mereka bergerak
bergerilya
merebut segala hak
mencuri senjata
menghancurkan gedung dan istana
meneror raja dan negara
menolak tunduk pada tanduk kekuasaan
Aku anak kemarin sore.
Zaman telah berubah
negara makin gila
memeras negeri dan bangsanya
gedung dewan jadi tempat onani
polisi menjaga privasi
depan pintu gerbang berjejal demonstrasi.
Aku membaca tembok-tembok penuh vandal
aku membaca buku propaganda
aku melihat insureksi tanpa henti.
Dan kini aku menulis sajak
aku mau menyerukan kepada kawan kawanku
peperangan masih membayang.
aku mau cangkul
palu dan belencong
aku mau bambu runcing
batu dan molotov.
aku mau api dalam sajakku
terbakar
jadi abu di pikiranmu
aku mau cat sebagai pena
aku mau tembok sebagai kertas
aku mau membuat berita kasatmata
Aku anak kemarin sore.
ternyata hari telah malam
aku dan sajakku akan beranjak
mencari wajah wajah pemberontak
Jakarta, Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H