Mohon tunggu...
Kuning Hitam
Kuning Hitam Mohon Tunggu... Petani - Komunitas Ranggon Sastra

Semua ini terjadi, lewat tanpa permisi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kemarau yang Berkepanjangan

19 November 2019   11:08 Diperbarui: 19 November 2019   11:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kampung:
Kemarau yang berkepanjangan
mengeringkan rumah dan gubuk perkampungan.
Membakar dedaunan tak berdosa.
Wajah-wajah kepolosan berputar-putar di antara jelaga yang menyatu di udara kesuburan:
Diikat nafasnya.
Disekap hidungnya.

Di kota:
Kemarau yang berkepanjangan
mengeringkan keadilan.
Membakar pinggiran kota .
Wajah-wajah malang berlari-lari di jalan raya terancam hidupnya:
Dibayangi kepanasan.
Diburu kekeringan.

Wajah-wajah kampung dan kota menyatu di udara untuk kesuburan bangsa.
Sama-sama meminta agar turun hujan yang menyejukkan.
Tapi yang turun adalah hujan letupan senjata:
Membanjiri wajah-wajah keresahan
melubangi harapan.
Letupan-letupan senjata terus berkeliaran di antara wajah-wajah itu
lalu mengantarkan sampai puncak nafasnya.
Yang tersisa hanya air mata.

Kemarau yang berkepanjangan
bencana buatan kekuasaan.
Tangan-tangan mereka terus menerus merauk udara yang seharusnya dihisap bersama.
Kepentingan kekuasaan hanya menimbulkan bencana bagi rakyat.
Meracik kemarau yang berkepanjangan
untuk lahan kepuasan
lalu mendatangkan hujan letupan senjata
bila terjadi pemberontakan.
Dengan ambisi yang tak ada ufuknya terus memburu kepuasan perut yang tak ada kenyangnya.

Kita sama-sama tahu
betapa angkuhnya mereka
lewat dengan pasukan berkuda
menyisir jalan raya.
Sementara.
Kita dipaksa merangkak dihadapan mereka
dengan mata yang telanjang
tak tahu harus berbuat apa.

Kini kita sudah semestinya mencerna
apa itu Pancasila
Bhinneka Tunggal Ika
falsafah bangsa dan negara.
Yang sejak kecil dijejali guru-guru kita
lewat sekolah yang sempit pengetahuan karena kekuasaan.
Lalu kita sama-sama bertanya.
Sebenarnya siapa yang harus diutamakan?
Saat melihat ke kampung
betapa banyak hidung yang ditusuk-tusuk jelaga.
Dan di kota
pinggiran jalan ditanami api yang membakar telapak kaki penghuninya.
Sementara di istana
Sedang asik mereka beserta selirnya bersenggama.


Jakarta, Oktober 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun