Aroma harum mulai menyeruak, menggelitik indera perasa Nara. Bu Arni menuangkan air putih, membiarkannya mendidih sebentar, lalu memasukkan bumbu yang sudah ditumis.
"Biar pedesnya sesuai sama seleramu, kamu boleh tambahin cabai lagi nanti ya," ujar Bu Arni sambil mengaduk kuah asal tidak gosong.
Nara mengangguk semangat. Rasa ingin bisa membuatnya sendiri semakin menggebu. Ia memperhatikan dengan seksama setiap detail, setiap takaran, seolah menyimpannya dalam hatinya.
Tak lama, kuah asinan yang berwarna kuning keemasan sudah matang. Bu Arni menuangkannya ke atas potongan nanas yang tersusun cantik di mangkuk. Aroma segarnya memenuhi dapur, langsung mengusir hawa panas siang hari.
Nara tak sabar memasukkan sesuap asinan ke mulutnya. Rasa asam, manis, dan pedas berpadu menyempurna. "Enak banget, Bu!" serunya sambil mengunyah dengan mata berbinar.
Bu Arni tertawa senang. "Nah, kan? Sekarang kamu udah bisa bikin sendiri," katanya sambil mengacak lembut rambut Nara.
Nara tersenyum kegirangan. Ia tak hanya menikmati kesegaran asinan, tapi juga warisan resep dan kehangatan bersama Bu Arni.
Mulai hari itu, asinan nanas tak hanya menjadi kudapan favorit Nara, tapi juga menjadi jembatan bagi hubungan ibu dan anak yang semakin erat. Setiap suapannya tak hanya man
is di lidah, tapi juga di hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H