Asinan NanasÂ
Sinar matahari yang menembus jendela kamar Nara langsung membangunkan keinginannya. Bukan keinginan untuk kembali tidur, melainkan keinginan untuk mencicipi sesuatu yang segar dan menggugah selera. Pikirannya langsung tertuju pada asinan nanas. Asam manis nan pedasnya membayangkan tarian lidah yang menyenangkan.
Namun, seketika semangat Nara surut. Ia tak pernah membuat asinan nanas sendiri. Jari jemari tangannya lebih mahir merangkai kata-kata di laptopnya daripada meracik bumbu dapur. Rasa gundah menggelitik hatinya.
"Bu Arni!" teriak Nara sambil melongok ke dapur.
Suara langkah mendekat dan muncullah Bu Arni dengan senyum cerahnya. "Ada apa, Nar,?" tanyanya, sambil mengusap tepung yang menempel di celemeknya.
"Bu, Nara pengen asinan nanas," ujar Nara, sedikit merona karena tak tahu cara membuatnya.
Bu Arni terkekeh pelan. "Pengen ya? Wah, kebetulan Bu Arni lagi kepingin juga," katanya sambil menarik Nara ke dalam dapur.
Aroma bawang merah dan cabai yang sedang ditumis memenuhi ruangan. Bu Arni dengan cekatan menyiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan. Nanas matang terbelah rapi di atas talenan, siap dibelai pisau.
Tangan Bu Arni yang terampil mencincang nanas bagaikan penari yang lihai memainkan kipas. Nara terpesona melihat setiap gerakannya. "Bu, cara bikin kuahnya gimana?" tanyanya dengan penuh antusias.
Bu Arni mengalihkan pandangannya, senyumnya merekah lagi. "Gampang, Nar. Ini resep rahasia Bu Arni ya," katanya sambil berbisik dan menambahkan gula, garam, cuka, dan sedikit terasi ke dalam wajan.