Mohon tunggu...
Mugiarni Arni
Mugiarni Arni Mohon Tunggu... Guru - guru kelas

menulis cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bu Aminah

28 Desember 2023   03:24 Diperbarui: 28 Desember 2023   04:19 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar pixabay.com

Bu Aminah menerobos rintik hujan pagi, sepatu bututnya berdecak di aspal basah. Sekolah adalah pelabuhannya, bukan hanya dari guyuran hujan, tapi juga dari duka nestapa kehidupan. Menjadi guru bukan sekadar mata pencarian, tapi panggilan jiwa yang membara. Anak-anak adalah kanvasnya, tak ternilai harganya.

Setiap pagi, Bu Aminah disambut sepasang mata bening penuh tanya, ada Aisyah yang rapuh karena kemiskinan, ada Bayu yang pemberontak menyimpan luka hati, dan ada Rara yang gembira meski tak punya mainan. Mereka, fitrah tak bernoda, menunggu guratan tangan yang akan membentuk masa depan mereka.

Bu Aminah tak pernah mengajar matematika atau sejarah dengan kaku. Ia menabur keberanian ke hati Aisyah lewat dongeng pahlawan, ia mengajarkan Bayu mengendalikan amarah lewat puisi cinta kasih, dan ia menunjukkan pada Rara bahwa kebahagiaan bisa diciptakan lewat tangan kosong. Kelasnya bukan sekadar ruang belajar, tapi ruang terapi, ruang impian, ruang bertumbuh.

Suatu hari, hujan tak hanya membasahi aspal, tapi juga meluruhkan tangis Aisyah. Ayahnya dirumahkan, masa depan mereka samar. Bu Aminah mengulurkan tangan, bukan uang, tapi bekal dan motivasi. Ia mengajak Aisyah berjualan kue buatan ibunya, mengajari anak itu berhitung dan bersabar. Peluh Aisyah bercampur air hujan, tapi senyumnya merekah ketika uang receh terkumpul.

Bayu, anak pemberontak itu, perlahan luluh oleh kisah Bu Aminah tentang Mahatma Gandhi. Ia belajar melawan bukan dengan tinju, tapi dengan pena. Tulisan-tulisannya tentang keadilan menggema di koran kota, suaranya lantang membela mereka yang tertindas. Bu Aminah tak pernah berkata "kamu bodoh", ia hanya menuntun Bayu menemukan kekuatan dalam suaranya sendiri.

Rara, si gembira, selalu dinaungi tangan Bu Aminah ketika ia sedih. Bu Aminah mengajaknya menanam bunga di halaman sekolah, mengajari Rara bahwa keindahan bisa diciptakan dari apapun. Rara belajar bahwa kebahagiaan bukan milik orang kaya, tapi milik mereka yang pandai bersyukur.

Setiap malam, Bu Aminah berdiri di depan cermin. Wajahnya tak lagi muda, tangannya keriput, tapi matanya berbinar. "Aku tak tahu apa yang kuberikan padamu, nak," bisiknya kepada bayangan, "tapi semoga goresanku di kanvas putihmu menjadi lukisan indah yang mewarnai dunia."

Anak-anak itu tak hanya muridnya, mereka adalah sahabat, keluarga, alasan hidupnya. Dan di pelabuhan sekolah, Bu Aminah tak henti berlabuh, mengantar anak-anak ke pelabuhan mimpi mereka masing-masing. Ia tahu, kelak anak-anak itu akan mengarungi lautan luas, tapi goresan di kanvas putih mereka akan menuntun arah, menjadi bukti bahwa seorang guru tak pernah gagal, ia hanya berhasil menanamkan keberanian, cinta, dan kebahagiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun