Â
Malunya Seorang Ibu
Penulis: MugiarniÂ
Drama, Persahabatan
Pada suatu sore di bulan November yang cerah, seorang wanita paruh baya bernama Bu Inah sedang berjalan pulang dari pasar. Ia membawa dua kantong plastik besar berisi sayuran dan keperluan sehari-hari.
Sesampainya di rumah, Bu Inah disambut oleh anaknya, Rini, yang baru pulang sekolah. Rini adalah seorang gadis remaja yang ceria dan pintar. Ia baru saja lulus dari SMA dan berencana untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri.**
"Ibu, pulangnya naik apa?" tanya Rini.
"Naik sepeda," jawab Bu Inah.
Rini mengerutkan keningnya. "Kenapa Ibu naik sepeda? Kan bisa naik motor?"
Bu Inah menghela napas. "Sejak Bapak meninggal, Ibu enggak berani lagi naik motor," katanya.
Rini menatap ibunya dengan penuh tanya. "Kenapa, Bu?"
Bu Inah tersenyum pahit. "Ingat waktu Bapak meninggal? Ibu naik motor membonceng Bapak. Tiba-tiba ada mobil yang menyalip dari arah berlawanan. Bapak jatuh dan terluka parah. Ibu enggak bisa ngapa-ngapain. Ibu cuma bisa nangis dan memohon pertolongan."
Rini memeluk ibunya. "Ibu jangan sedih," katanya. "Bapak pasti enggak mau Ibu sedih."
Bu Inah mengusap air matanya. "Iya, Ibu tahu. Tapi Ibu masih belum bisa melupakan kejadian itu. Ibu takut kalau suatu hari nanti Ibu juga mengalami kecelakaan."
Rini mengangguk. "Ibu tenang aja, Bu. Rini akan selalu menjaga Ibu."
Bu Inah tersenyum. "Terima kasih, Nak."
Rini membantu ibunya membawa barang belanjaan. Setelah itu, mereka berdua duduk di teras rumah untuk beristirahat.**
"Rini," kata Bu Inah. "Apa Ibu malu punya kawan seperti Ibu?"
Rini terkejut. "Kenapa Ibu bilang gitu?"
Bu Inah menundukkan kepala. "Kemarin, Bapak lihat Ibu pulang sekolah naik sepeda. Ibu yakin Bapak pasti malu punya kawan seperti Ibu."
Rini tersenyum. "Enggak, Bu. Ibu enggak malu. Rini bangga punya Ibu."
Bu Inah menatap Rini dengan penuh keheranan. "Kenapa, Nak?"
Rini menggenggam tangan ibunya. "Karena Ibu adalah wanita yang kuat dan berani," katanya. "Ibu sudah kehilangan suami tercinta, tapi Ibu tetap tegar dan berjuang untuk membesarkan Rini. Ibu selalu ada untuk Rini, baik di saat senang maupun susah. Ibu adalah sosok panutan bagi Rini."
Bu Inah tersenyum. "Terima kasih, Nak. Kata-katamu membuat Ibu merasa lebih baik."
Rini memeluk ibunya kembali. "Ibu enggak usah malu," katanya. "Ibu adalah wanita yang hebat."
Bu Inah memeluk Rini erat-erat. Ia merasa sangat bersyukur memiliki anak seperti Rini. Rini adalah anak yang baik dan penuh kasih sayang. Ia selalu ada untuk ibunya, baik di saat senang maupun susah.
Hari-hari pun berlalu. Bu Inah dan Rini tetap hidup bahagia bersama. Bu Inah tidak pernah lagi malu dengan kondisinya. Ia tahu bahwa ia adalah wanita yang kuat dan berani. Ia memiliki anak yang baik dan penuh kasih sayang. Itu sudah lebih dari cukup baginya.**
Suatu hari, Bu Inah dan Rini sedang berjalan-jalan di taman kota. Tiba-tiba, mereka bertemu dengan seorang pria paruh baya. Pria itu adalah tetangga mereka yang bernama Pak Budi.**
"Eh, Bu Inah," sapa Pak Budi. "Lama enggak ketemu."
Bu Inah tersenyum. "Iya, Pak. Lama juga enggak ketemu."
Pak Budi menatap Rini dengan kagum. "Eh, ini siapa, Bu?"
"Ini anak saya, Rini," jawab Bu Inah.
Pak Budi tersenyum. "Rini, kamu cantik sekali," katanya.
Rini tersipu malu. "Terima kasih, Pak."
Pak Budi kemudian menatap Bu Inah. "Bu Inah," katanya. "Saya ingin bilang, saya salut sama Ibu. Ibu itu wanita yang kuat dan berani. Ibu sudah kehilangan suami tercinta, tapi Ibu tetap tegar dan berjuang untuk membesarkan Rini. Ibu adalah sosok panutan bagi semua orang."
Bu Inah merasa terharu. Ia tidak menyangka bahwa Pak Budi akan mengatakan hal ituÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H