Bangkit dari Minder
Oleh MugiarniÂ
Pagi itu, seperti biasa, Bu Siti berangkat kerja dengan sepeda motornya. Ia seorang guru honorer di sebuah sekolah menengah atas di Tangerang. Bu Siti sudah bekerja sebagai guru honorer selama 10 tahun. Ia sudah terbiasa dengan keadaannya sebagai guru honorer yang penghasilannya pas-pasan.
Saat Bu Siti sedang asyik mengendarai sepeda motornya, ia berpapasan dengan rombongan siswa SMA yang sedang naik mobil. Rombongan siswa itu mengobrol dengan riang gembira. Mereka terlihat begitu bahagia.
Bu Siti pun merasa iri melihat rombongan siswa itu. Ia membayangkan bagaimana rasanya menjadi siswa SMA yang masih muda dan penuh semangat. Ia juga membayangkan bagaimana rasanya bisa kuliah dan meraih cita-citanya.
Bu Siti pun mulai merasa minder. Ia merasa dirinya tidak seberuntung siswa-siswa SMA itu. Ia merasa dirinya hanya seorang guru honorer yang hidupnya pas-pasan.
Perasaan minder itu semakin lama semakin menggerogoti Bu Siti. Ia merasa dirinya tidak berguna. Ia merasa dirinya hanya beban bagi keluarganya.
Suatu hari, Bu Siti sedang mengobrol dengan sahabatnya, Bu Ani. Bu Ani adalah seorang guru tetap di sekolah tempat Bu Siti bekerja.
"Bu, kok ibu kelihatan murung?" tanya Bu Ani.
"Iya, Bu. Saya merasa minder," jawab Bu Siti.