“Besok siang, kau temui aku ditaman seberang balaikota” ajak Sumekar.
“Untuk apa?” tanya Rahman keheranan.
Yang ditanya hanya membalas dengan. Taman seberang balaikota, baginya sebuah hal yang menjijikkan dengan taman yang tiada istimewanya. Taman dengan bunga kertas berjejer rapi yang sangat tak disukainya. Sumekar tahu bahwa Rahman tak suka pada taman itu, tapi mengapa gadis yang disanjung- sanjungnya mengajaknya kesana? baginya cukup mengikuti ajakan sang gadis. Yakin baginya akan berbuah manis.
“Akhirnya kau datang juga, Man” sapa Sumekar setelah sekian lama menunggu. “ku kira kau tak ingin datang ke tempat yang sangat kau benci ini” lanjutnya.
Rahman diam bersungut dan buang muka. Sejatinya, Sumekar sangatlah ingat peristiwa beberapa minggu yang lalu. Ketika ia beberapa kali menunggu Rahman tuk berbincang di teman itu. Tak pelak, Rahman mengumpat banyak kata kasar. Sumekarpun tahu, jika lelaki dihadapannya bukanlah pecinta kembang selain kembang kamboja. Ya, kembang kuburan.
“Kau masih saja tak hendak menulis?” tanya Sumekar mencairkan suasana.
“Untuk apa? Tanya Rahman datar.
Sumekar menghela nafas panjang. “kau kapok karena tulisanmu mendapat penolakan dari banyak orang? Kau juga kapok pada penilaian teman- teman?” tanya Sumekar lagi
Panas telinga Rahman hingga membuat merah mukannya. Mengapa hal itu yang akan dibicarakan. Rahman sebelumnya mengadaikan bahwa ditempat itu Sumekar akan menyatakan rasa cintanya. Baginya, kedekatan yang selama ini terbangun bukanlah atas dasar teman atau sahabat, lebih dari itu.
“Untuk apalagi membuang waktuku dengan pena dan kertas, Sumekar?” tanya Rahman.
“Tidakkah kau fahami nasib anak burung yang ditertawai seekor ular?” tanya Sumekar balik.
“Maksudmu?” Rahman tak mengerti.
“Ayolah. Anggap saja anak burung itu adalah kau. Ia tetap berusaha terbang meski kepakan sayapnya lemah. Ia akan buktikan pada si penghina,bahwa ia mampu tuk terbang dan menerkam sekaligus menyantap sang ular” jelas Sumekar menjawab ketidaktahuan sahabatnya.
“Aku sudah berusaha sekuatku. Berapa banyak kertas dan tinta kuhabiskan tuk merenda kata dan kalimat? kau tahu bahwa aku gagal” tolak Rahman.
Sungguh menjengkelkan bagi sumekar mendengar jawaban yang dilontarkan Rahman.
“Kau pengecut. Tak lebih selain kau ingin selalu mencoba” Sumekar menghina.
“Maksudmu apa? Pantaskah itu kau ucapkan padaku?” tanya Rahman tak mengerti dengan nada tinggi.
“Pantaskah seorang yang memiliki bibit namun tak menanam? Pantaskah engkau yang rela mengalah dan lebih rendah dari seekor anak burung yang akhirnya mampu terbang bebas dan tinggi?” sergah Sumekar dengan pertanyaannya.
Tertunduk malu, bibir kelu dan berdesir tajam jantung Rahman. Diam dan diam serta menunduk lesu. Lebih lesu dari tanaman layu yang tak mendapat tetes- tetes air. Tak pelak, Rahman menutup wajah. Menutupi rasa malu yang membuncah atas kebenaran yang diucapkan Sumekar.
“Rahman, akusebagai sahabatmu tak ingin kau ditinggal jauh oleh mereka yang mahir dan ahli menorehkan kata- kata pada selembar kertas kosong dan menjadikannya indah. Kau mampu dan kau bisa jika kau latih. Mulai sekarang, akhiri pengecutmu. Dengar dengan seksama dan kau rajut kembali dengan baik. Jelas Sumekar panjang.
“Kau benar, aku lemah dan sedikit daya. Betapa tak terfikirkan olehku, sungguh rendah ketimbang seekor bayi burung” ucap Rahman membenarkan sahabatnya. “Gagak yang jelas tahu memiliki suara buruk, masih saja berusaha mengolah suara hendak menyamai perkutut. Aku malu” lanjutnya.
Siang akan segera berlalu dengan matahari yang makin menukik ke barat. Langitpun sudah siap menyandang senja menggantikan siang. Burung- burung kocar- kacir beterbangan meninggalkan perburuan menuju sangkar. Burung hantu sudah terbangun dan bersedia memelototi malam dengan tajam dan bulat mata.
“Jadikan penyesalanmu sebagai kaca tuk hari- harimu kemudian” tutur Sumekar sembari mengeluarkan bingkisan berwarna hitam dari tasnya. “Dengan ini ku harapkan kau terus mencoba dan mencoba. Terjang dan runtuhkan dinding pengecut itu pelan- pelan. Ingat, jika terlalu cepat, akan menimpamu” lanjutnya.
Diterimanya bingkisan itu lalu dibukalah. Sebuah pena dan buku yang tebal. Rahman tahu, bahwa gadis pujaannya ingin ia menulis kembali. Tersenyum bahagia mendapat itu dan menatap senja yang telah merangkak menampilkan indah jingga mega.
“Kuanggap ini adalah awal. Aku ku robohkan dinding yang kau maksud. Tapi, Sumekar....” ucap Rahman yang terhenti karena Sumekar yang telah berdiri memandanginya.
“Aku tahu, Man. Aku tahu perasaanmu padaku. Asal kau tahu. Rasa yang kau miliki, juga kumiliki. Keinginanmu tuk mengungkapkan itu kau bendung. Akupun begitu, karena aku ingin melihatmu bangkit dan menancapkan semangatmu kokoh, lebih kokoh dari pohon nyiur dipantai” ucap Sumekar tulus.
“Tapi ingatlah, jangan kau jadikan rasa yang kita miliki sebagai alasan tuk membuatmu pandai menulis. Menulislah sebagai ungkapan rasa yang bergejolak. Menulislah dari hati, jadikan itu kebutuhan untuk melampiaskan kegelisahanmu. Doaku sebagai sesamamu dan sebagai gadis yang kau cintai, akan menemanimu tumbuh” lanjutnya.
Bergeming duduk dengan bisu dan kelu bibir kering Rahman. Tak dinyana olehnya, perasaan cinta yang selama ini dipendamnya diketahui oleh gadis yang dipuja. Betapa melambung tinggi hatinya, betapa tak terkira suka cita yang timbul.
“Aku tunggu janjimu dan tidak perlu kau tanya kesediaanku akan rasa itu, karena kau tahu. Tunjukkan padaku bahwa kau memang lelaki tangguh dan tak pantang menyerah. Di taman bunga kertas ini. disaksikan kumbang dan juga bunga kertas warna- warni. Kau harus bersedia menorehkan tinta kedalam kertas dan buatlah tulisan itu seindah bunga- bunga disini yang pantas dipandang mata. Aku menunggu itu” ucap Sumekar juga meminta janji.
Diawali geram, disambung malu dan diakhiri tangis bahagia. Rahman segera memeluk Sumekar. Sungguh kuat pelukkan itu dan membuat Sumekar terkejut, namun ia membiarkan lelaki yang dikasihinya melampiaskan rasa bahagianya.
Taman bunga kertas, disana kebencian terbangun. Disana sebuah semangat kembali tersulut. Janji telah diumbar dan taman, kumbang dan langit menjadi saksi.
Enamtahun berlalu. Semenjak diwisudanya Sumekar dan Rahman, mereka tak lagi berjumpa barang tatap muka, terlebih berbasa-basi. Sumekar sebagai lulusan sarjana Administrasi Negara di salah satu universitas swasta, masih gundah tak karuan akan karir yang diimpikannya. Telah lebih dari setahun ia menganggur. Puluhan surat lamaran pekerjaan ia ajukan dan puluhan kali pula ditolak. Ada kala itu ia diterima dan sempat bekerja di salah satu bank milik swasta selama 6 bulan lamanya. Namun, nasib berkata lain. Tempat dimana ia mendulang rupiah harus gulung tikar. Bukan hanya itu saja yang membuat perhatiannya bercabang sedemikian banyak. Di usia dua puluh empat tahun, ia masih menggantungkan hidup pada keluarganya. Sejatinya ia malu pada yang lain. Lain hal, Sumekar masih memikirkan Rahman. Lelaki yang dipujanya tak kunjung berkabar sebagaimana janji yang diucapkan dulu. Sumekar menagih, tapi yang ditagih tak juga ada. Penuh denggan diam dan renungan. Koran ini koran itu, halaman ini halaman itu. Mencari lowongan pekerjaan.
“Sudah sore, nduk” sapa ibu Sumekar menghamburkan konsentrasinya.
“Oh, ibu. Bapak sudah pulang?” Tanya Sumekar
“Saking asiknya dengan koran, sampai- sampai kau lupa bapakmu menggetuk pintu” sindir ibunya.
Malulah Sumekar. Benar adanya ia begitu bersemangat memelototi baris demi baris iklan yang tertera dikoran. Bukan hanya karir yang menjadi bebannya. Tapi juga Rahman.
“Ibumu ini juga tahu,nduk. Kamu masih menunggu lelaki yang kamu sendiri tak tahu dimana ia tinggal” terka ibunya.
Terkejut Sumekar oleh terkaan ibunya. “Bagaimana ibu tahu? Aku tidak pernah bercerita pada siapapun” Tanya Sumekar tak percaya.
“Rahman Rahardian, bukan? Yang dulu pernah kau ajak kemari dan juga kau marahi. Ibu faham perhatianmu tercurah lebih padanya. Ibu memaklumi, nduk. Usiamu menuntut tuk segera didampingi” jelas ibunya.
“Demikian ingat,bu? Aku sendiri sampai lupa kapan aku mengajaknya kemari. Walau ia tak pernah datang menemuiku, tapi hal terpenting adalah doaku agar ia selalu dalam lindungan Gusti Allah. Aku juga masih kepikiran Rudi, bu. Sudah dua tahun ia tak pulang- pulang. Paman pasti menanti.” Sumekar bercerita sembari menerawang, juga mengingat sepupunya yang tak kunjung datang selama dua tahun belakangan ini.
Tersenyum ibunya. Memandang bangga pada sang putri yang digumuli rindu. “Si Rudi ya begitu. Dia belum mau pulang kalau belum juga berhasil dan membawa calon menantu buat bapaknya. Doakan saja ia lekas pulang. Masalah Rahman. Jodoh ndak akan kemana. Gusti Allah juga ndak tidur. Sekarang solatlah dan minta pada yang kuasa” tutur sang ibu seraya meninggalkannya.
Dalam doa. Sangatlah ingin Sumekar bertemu walau barang sekejap mata. Hanya ia tak tahu bagaimana keadaan yang dirindukannya. Kembali, pagi- pagi sekali Sumekar sudah membaca koran langganannya. Dari halaman awal hingga akhir. Apalagi yang dicari selain lowongan pekerjaan. Saat bacaannya mampir disalah satu halaman, ia terkesiap kala membaca satu persatu jajaran redaksi Koran tersebut. Terpampang sebuah nama yang taka sing baginya. Rahman Rahardian sebagai editor. Benak dan fikir Sumekar diganduli tanya. Apakah benar si empunya nama tersebut adalah sosok yang dirindukannya? Apakah sudah digapainya mimpi? Ahh, begitu beruntut pertanyaan singgah dan pergi membawa jawaban.
“Ahh, hampir terpikat nama. Nama itu tak hanya satu” berkata pada dirinya sendiri. Berlalu dari Koran dan menghambur keluar rumah, lalu membantu ibunya menyapu halaman.
“Nah, ini baru namanya Sumekar” canda ibunya ketika melihat anak semata wayangnya menyibukkan diri dengan sapu ijuk yang membelai kasar tanah, menyapu daun- daun kering.
“Ah, ibu bisa saja. Ini pekerjaan yang wajib dan…
“Dan apa? Juga pekerjaan seorang istri maksudmu? jangan kecewa kalau Rahman sudah beristri” potong ibunya sembari tertawa geli.
“Kenapa Rahman yang ibu bicarakan?” tanya Sumekar heran.
“Lantas siapa yang kamu rindukan selain dia?” tanya ibunya memojokkan Sumekar.
Sumekar hanya diam tersipu malu. “Anganmu terlalu jauh, nduk. Kejar dulu karirmu. Setelah dapat dan berhasil, lekaslah pilih calon suami. Jangan menggantungkan nafkah pada lelaki. Itu sama saja kamu tak punya bekal dan gelar sarjanamu itu ra kanggo” lanjut ibunya menjelaskan.
Sumekar memahami maksud sang ibu. Obrolan itu berlanjut sampai masalah dapur sekalian sembari asik menyapu dan merapikan tanaman bunga sepatu sebagai pagar rumah.Saking asiknya, mereka tak menyadari sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang muda berhenti tepat dimuka pagar bunga sepatu.
“Assalamualaikum” salam si pemuda.
Sumekar yang berada tak jauh dari pagar segera menjawabnya dan mengangkat kepalanya. Betapa terkejutnya dia. Tak dapat berkata- kata setelah jawaban salam keluar dari mulutnya.
“Bu, kemarilah” Sumekar memanggil ibunya dengan suara bergetar.
Pun dengan ibunya, terkejut dengan kehadiran pria muda itu. Betapa panjang umur si muda itu karena belum alam ia mereka bincangkan.
“Duh gusti. Kamu ternyata ngger. Mari masuk kedalam” ajak ibu Sumekar mempersilakan lelaki tersebut masuk rumah. Tak lupa ia meminta anaknya tuk menjamu tamunya dengan pantas. Lekas Sumekar ke dapur tuk membuatkan teh dan mengambil makanan ringan. Bertanya- tanya. Apakah aku sedang bermimpi? Nyatakah hari ini? Terus bertanya hingga ia menyajikan teh hangat dan sedikit hidangan di meja tamu.
“Bagaimana kabarmu?” tanya ibu Sumekar membuka suasana.
“Baik, bu. Semuanya baik- baik kan?” jawabnya ringan dengan balik tanya tentang kabar keluarga yang disinggahinya.
“Berkah Gusti Allah semua sehat dan kecukupan, ngger. Kalian lanjutkan obrolannya, ibu mau selesaikan pekerjaan tadi” jawab sang ibu memungkas waktunya tuk bersapa dan mempersilakan anaknya memuaskan rindu.
Rahman Rahardian yang akhirnya datang tanpa kabar atau angin yang membisikkan telinga. Sumekar masih diam beku tak percaya akan hari dimana ia kembali dipertemukan dengan Rahman. Doanya terkabul.
“Kenapa diam? Apa kau tak suka aku datang selama lebih enam tahun aku menghilang? tanya Rahman membuka kebekuan.
“Bukan begitu. Aku masih tak percaya” jawab Sumekar datar.
“Maaf karena aku tak berkabar selama ini. Aku masih pegang janji kita dulu dan aku sudah buktikan aku berhasil.” Rahman mengejar.
“Aku belum juga bekerja, Man. Ijazahku nganggur” ucap Sumekar.
“Lantas? Apa masalahnya bagiku?” tanya Rahman tak faham pada Sumekar.
“Apa benar bahwa nama yang tertera sebagai editor pada koran ini adalah kamu?” tanya Sumekar sembari menyodorkan koran yang tadi ia baca.
“Masih seperti dulu.” ucap Rahman dengan senyum sinis. “Benar, dan itu bukti bahwa aku bisa terbang bebas dan merenda kata demi kata sebagaimana kau inginkan.” lesu Rahman bicara.
“Kau datang dan mampu seperti yang kau janjikan. Bukan lagi kau sebagai pecundang. Dan lengkap sudah hutangmu, Man” ucap Sumekar meyakinkan Rahman.
Ia tahu bahwa lelaki dihadapannya masih ingin melanjutkan hubungan yang terpisah waktu. Namun, ia bersadar diri akan kondisi dirinya saat ini. Ia malu dan tak ingin membebani Rahman dengan bekal kosong seperti yang diutarakan ibunya. Sengaja menghindar dan merasa malu.
“Aku mau melamarmu” pinta Rahman.
Betapa terkejutnya Sumekar mendengarnya. Seperti melihat sosok hantu hingga membuatnya terbelalak. “Jangan bercanda, Man. Kamu tak tahu akan menikahi siapa” tolak Sumekar dengan nada seperti berbisik.
“Aku tahu. Aku akan menikah dengan seorang gadis bernama Sumekar yang akan selalu mekar dan wangi. Yang mampu membuatku sanggup bangkit dari mati suriku. Kamu gadis berfikiran tangguh dan pahlawan bagiku setelah orang tuaku. Itu yang aku tahu, Sumekar” jawab Rahman yakin.
Masih dengan pendiriannya bahwa ia masih kosong dan akan jadi beban bagi Rahman yang akan mempersuntingnya. Bingung tak karuan. Apa yang hendak diberikan sebagai jawaban.
“Mendiang ibuku berpesan agar aku menikah denganmu. Kau tahu betapa akrabnya kau dengan ibuku kala kita masih berstatus mahasiswa, bukan? tidakkah kau ingat itu?” kenang Rahman sembari menatap tajam Sumekar, gadis yang hendak ia nikahi.
“Tahulah diri aku ini, Man. Kau tahu aku belum melunasi hutangku. Aku masih berhutang banyak pada ibuku. Belumlah terwujud pengabdianku. Dan tidakkah kau malu memperistri seorang gadis yang hanya tinggal icip- icip hasil keringatmu? Mengertilah, Man” jelas Sumekar mengelak.
“Aku sudah mengerti inginmu berbakti. Itu benar dan tak salah jika inginmu seperti itu. Tapi aku sangup menafkahimu” sambung Rahman.
“Bukan aku, tapi ibuku yang aku fikirkan!” bentak Sumekar mengelak.
“Tak ada yang perlu kamu khawatirkan pada ibumu, nduk” celetuk ibu Sumekar yang tiba- tiba hadir dalam obrolan. Lantas duduk menyampingi anaknya yang dilanda kemelut bergemuruh dalam diri.
“Ibu sudah mendengarkan yang diinginkan Rahman. Ibu sangat merestuinya. Dan apa yang kamu tunggu? bukankah Rahman yang selama ini kamu nantikan?” tanya ibunya mengejar. Rahman hanya diam. Dalam hatinya berteriak kegirangan.
“Tapi aku masih ingin berkarir, bu. Ibu sendiri yang katakan agar jangan jadi beban” ungkap Sumekar membenarkan diri.
“Baiklah. Jadi kau butuh pekerjaan. Sekarang juga akan kuhubungi rekananku yang sedang membutuhkan karyawan bagian administrasi. Kau bisa bekerja disana” timpal Rahman menawar.
“Aku tak mau jika seperti itu. Layaklah sebagai kecurangan” sanggah Sumekar tak terima.
“Masih keras kepala. Kau ajukan permohonan dan jika diterima maka kau kerja. Tapi apa kau tak kasian padaku yang harusmenunggu sampai kapan kau akan katakan setuju?” tanya Rahman.
Semua diam tak ada gerakan sedikitpun. Semua tertunduk berfikir akan mengatakan apa tuk menyelesaikan kemelut hati yang sedang berlangsung itu. Satu jiwa tak sabar menunggu lama, yang lain masih ingin melunasi hutang. Lautan kering jika matahari makin turun. Begitupun taman yang akan menjadi belukar kala tak dirawat. Itu yang difikirkan ibu Sumekar, ia tak ingin keinginan dua insan itu kandas hanya karena dirinya diberatkan anaknya.
“Baiklah. Ibu ada usulan. Rahman, berikan waktu setahun bagi Sumekar tuk berkarir dengan saranmu tadi. Sedang tuk mengikat kalian. Ibu akan mengadakan pertunangan. Ini sebagai batas saja agar tak ada yang kecewa. Bagaimana? Tutur ibu Sumekar menawarkan solusi.
Betapa sumringah wajah Rahman dan Sumekar. Mereka menyetujui saran ibu. Perbincangan itu dipungkasi dengan kesepakatan masing- masing. Dan itu dicatat rapi oleh burung gereja yang sejak tadi hinggap di bingkai jendela rumah.
Pertunangan pun telah usai dilaksanakan. Sumekar telah bekerja di tempat usaha rekanan Rahman yang memang membutuhkan tenaga Sumekar. Cincin telah melingkar di jari manis sangat erat mengikat rasa cinta satu sama lain. Setahun telah berlalu dan janji harus ditepati tanpa ditagih. Ikatan akan dipatri rapi dan kokoh dalam janji suci pernikahan. Januari akhir. Pernikahan itu digelar di rumah Sumekar. Beranda dihias janur kuning, ditambah rangkaian bunga- bunga segar nan wangi. Tamu- tamu hadir dengan antusias menyaksikan prosesi yang segera digelar. Rahman hanya sebatang kara, ia yatim piatu. Hanya ditemani oleh teman- teman dari tempat ia bekerja, merekalah sebagai walinya. Tanpa ayah ataupun ibu juga saudara kandung. Ayah dan ibu Sumekar tampah cerah berseri melihat anak semata wayangnya yang sedianya dalam beberapa menit lagi akan sah sebagai seorang istri.
“Sudah kau dapati apa yang kau ingini, Sumekar” ucap Rahman.
“Kini aku siap. Rasaku telah menumpuk tak sabar tuk diurai, Man” timpal Sumekar.
Selesai sudah prosesi pernikahan dengan lancar yang ditandai dengan kata sah dari para wali pengantin dan kata amiin yang digelontorkan semua yang hadir. Hendaklah sebagai yang sah sebagai suami istri, Rahman mengecup kening istrinya, pun dengan Sumekar yang mencium tangan sang suami dengan tulus.
Tepat ketika Rahman menjatuhkan kecupan ringan di kening sang istri, batuk sudah memotong. Terkejutlah Sumekar dan semua yang hadir, melihat darah segar mengalir deras melalui mulut dan hidung pengantin pria. Begitu terkejutnya.
“Mas, ada apa denganmu?” teriak Sumekar pada suaminya dengan isak tangis.
“Tugasku sebagai seorang lelaki setidaknya hampir tuntas. Aku telah amalkan keinginan mendiang ibu, Sumekar. Aku bahagia” tutur Rahman yang lemah tergeletak dipangkuan istrinya dengan hidung dan mulut masih mengalirkan darah segar.
Semua yang hadir dibuat cemas, teman- teman, keluarga dan kerabat. Lebih- lebih ibu Sumekar yang baru saja merasa lega dan bahagia kini telah disandung perih. Begitu ngilu bagi mereka.
“Mas, kenapa begini? Pak, ayo cepat antar ke rumah sakit. Lekas” teriak Sumekar masih menangis.
“Nyawaku hampir oncat dari raga dan menemani ibuku, sayang. Kami akan bersenandung dengan bunga kesukaanku, bunga Kamboja bunga kuburan. Cukup tuntas dan terimakasih sudahmenjadi istriku yang menepati janji. Setelah ini, menikahlah dengan lelaki lain yang lebih baik dariku. Maaf atas egoku yang tinggi, maaf pula pada setiap jiwa yang kukuh dalam diri” begitulah ucap Rahman dan nyawa benar- benar pergi meninggalkan raga.
“Rahman…..” isak Sumekar lirih.
Begitulah sebuahpernikahan yang semula mengundang bahagia menjadi bencana dan neraka. Renda telah berjatuhan dari jerat benang indah. Kalimat innalillahi wa innailaihirojiun, menandai selesainya waktu bagi Rahman berkelana di bumi. Pada siang hari itulah, Rahman yang baru saja menikah dan sah menjadi suami Sumekar. Secara tragis meninggalkan sang istri menjadi janda dan darah merah segar sebagai bukti mati. Dimakamkan setelah dimandikan, dikafan dan disolatkan.
Di pemakaman yang telah usai menguburkan jasad sang pengantin pria yang telah berpulang pada sang pencipta. Berangsur- angsur pelayat yang semula tamu dalam pernikahan meninggalkan pemakaman.
“Mari pulang, nduk” ajak ayah dan ibunya pulang.
“Ayo sumekar, kita pulang” ajak seorang lelaki yang tak lain adalah teman mendiang suaminya. Sumekar bergeming tak ingin pulang.
Berbagai macam bujukkan dilontarkan agar Sumekar pulang dan menyudahi sedih di pemakaman itu. Akhirnya, hanya denggan ditemani ibunya, Sumekar memandangi makam suaminya. Sang ayah dan lainnya pulang dengan membawa sedih, kalut dan gundah.
“Aku, Sumekar yang berjanji dengan makam, bunga kamboja dan ibuku menjadi saksi. Tak akan aku menikahi lelaki lain. Cinta dan kasihku hanya untukmu, Mas. Meski kau telah tiada. Aku takkan mekar dan aku akan selalu menjadi kuncup hingga aku datang menyusulmu. Tak ada benih yang akan hidup dariku, karena aku tak akan mekar. Dan aku akan menjadi kuncup selamanya. Selamanya, Mas” tutur Sumekar bersumpah panjang.
Yogyakarta, 24 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H