Pada tahun 1990-an, kota itu menawarkan ketenangan dan kehangatan. Wilayahnya terdiri atas dua bagian, wilayah dataran rendah yang sebagiannya adalah pesisir dan wilayah dataran tinggi berupa perbukitan yang memanjang dari sisi barat, sebelah selatan, hingga sisi timur kota. Kawasan dataran tinggi ini berbatasan dengan hutan, bagian yang belum begitu mengalami banyak perubahan sampai sekarang.
Era 90-an, pusat kota tersebut telah dihiasi gedung-gedung bertingkat, meski tak sebanyak sekarang. Ya, saat itu lahan kosong memang masih cukup mudah dijumpai. Maklum, di sana merupakan kawasan strategis, yaitu pusat pemerintahan sekaligus pusat ekonomi. Salah satu bangunan ikonik era itu---yang tidak lagi dapat dijumpai saat ini karena telah dirobohkan dan menjadi bangunan pusat perbelanjaan---adalah Gelanggang Olahraga. Masyarakat lebih senang menyebutnya dengan istilah GOR. Selain kegiatan olahraga, gedung tersebut juga sering dipakai untuk nongkrong dan kegiatan hiburan, seperti konser dan pameran.
Titik berkumpul favorit lainnya adalah alun-alun kota yang diapit oleh rumah bupati, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid agung. Di tengah tanah terbuka yang luas dan berumput itu terdapat beringin kurung. Masyarakat kerap memenuhi kawasan itu saat sore hari dan akhir pekan. Biasanya, anak-anak akan bermain, sementara orang tua mereka berbincang santai atau sekadar duduk mengawasi dari bangku-bangku kayu yang tersedia di pinggir-pinggir alun-alun.
Sekolah-sekolah dari berbagai tingkatan juga tersebar di kota itu, mulai dari TK, hingga SMA. Ada pula universitas negeri kebanggaan penduduk setempat. Kampus ini terletak di kawasan kota yang lebih tinggi. Jalan menuju kawasan kota yang terletak di dataran tinggi ini sedikit lebih berliku dan menanjak, memberikan sensasi petualangan kecil bagi siapa saja yang melaluinya.
Jalanan di kota itu juga tidak terlalu padat. Lalu lintas didominasi oleh angkot alias angkutan kota dan beberapa kendaraan pribadi yang tidak semarak seperti saat ini. Alat transportasi tak bermesin, seperti sepeda dan becak, juga masih sangat lazim dijumpai melintas di jalanan-jalanan kota.
Seperti halnya di kota lain, pinggir-pinggir jalanan kota itu juga dihiasi oleh rumah-rumah dan toko-toko, salah satunya toko Bu Siti. Lis tidak tahu kapan toko itu dibuka karena seingatnya toko itu telah ada sejak ia masih kecil. Toko itu menyatu dengan rumah yang ditinggalinya bersama kedua orang tuanya.
Sebagai anak tunggal dari Bu Siti dan Pak Mino, Lis menjalani kehidupannya dengan lancar. Sesekali ia bertengkar dengan orang tuanya. Yang paling sering karena tidak diizinkan pergi bermain. Padahal, bagi remaja 90-an, berkumpul dengan teman-teman adalah yang hal sangat penting.
Ya, bagi Lis dan teman-teman seusianya saat itu, nongkrong bersama teman sangatlah meaningful. Lis dan remaja seusianya memiliki perasaan keterikatan yang kuat dengan kelompok pertemanannya. Nuansa nongkrong pun begitu hidup. Setiap anggota kelompok benar-benar hadir dan menyediakan waktu sepenuhnya untuk berbagi kabar atau curhat satu sama lain. Sebab, hanya pada saat itulah mereka merasakan ruang bebas untuk berbagi berbagai persoalan pribadi, termasuk permasalahan-permasalahan yang terasa tabu jika dibagikan kepada orang tua.
Karena itulah Lis dan teman-temannya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul, misalnya saat jam istirahat, sepulang sekolah, atau di hari libur. Berkumpul bersama teman-teman praktis membuat Lis tak kesepian. Terlebih ia anak tunggal. Dan memang ia merasakan bahwa pergaulannya dengan teman-teman seusianya memang sangat suportif, akrab, sekaligus sederhana. Hubungan pertemanannya pun murni saling mendukung, tak didasari penilaian menguntungkan atau tidak menguntungkan. Syarat untuk diterima di kelompok pertemanan pun mudah, cukup dengan percaya diri, bisa berbaur, dan bisa nyambung dengan teman-teman lainnya.
Saking pentingnya hubungan pertemanan dengan sesamanya, anak 90-an yang tidak menyahut saat dipanggil dari depan rumah akan dicap sombong. Dan jika tak ikut berkumpul, teman-temannya akan bertanya, "Kok dia nggak pernah ikutan nongkrong, ya?"
Tentu saja Lis tidak mau dianggap seperti itu. Tetapi, hari itu ia mengalah, memilih tidak ikut nongkrong dengan teman-temannya demi menggantikan ibunya menjaga warung. Pasalnya, hari itu Bu Siti harus pergi sebentar karena ada urusan.