Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Pikirannya mulai dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. "Mengapa mereka tidak pernah memberitahuku? Kenapa aku harus tahu dari kertas-kertas ini?" Hatinya terasa hancur, dan ia merasa seperti ada jarak yang tiba-tiba tercipta antara dirinya dan orang tua yang selama ini begitu dicintainya.
Namun, di balik semua kebingungan dan rasa sakit itu, ada juga perasaan bersalah. Ia tahu, orang tua angkatnya sangat mencintainya, dan mungkin mereka hanya ingin melindunginya. Tetapi, mengetahui kebenaran dengan cara seperti itu membuatnya merasa kehilangan arah, seolah-olah fondasi hidupnya tiba-tiba runtuh.
Setelah beberapa saat terdiam, Lis menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menyadari bahwa pegawai kelurahan masih menunggu di warung, dan ia harus kembali. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengambil Kartu Keluarga, kemudian menutup lemari dengan perasaan berat.
Saat kembali ke warung, ia memberikan Kartu Keluarga itu kepada pegawai kelurahan dengan senyuman yang dipaksakan. "Ini, Pak. Maaf menunggu lama," katanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mengguncang hatinya.
Setelah pegawai kelurahan itu pergi, Lis duduk di kursi belakang meja kasir, menatap kosong ke arah jalan. Di kepalanya, berbagai pikiran berputar tanpa henti. Hidupnya yang tadi terasa begitu biasa dan damai, kini dipenuhi oleh ketidakpastian. Meski ia masih mencintai kedua orang tuanya, ia tahu bahwa ia harus segera mencari penjelasan tentang kenyataan yang baru saja ia ketahui.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H