Lis tersenyum lebar. "Tentu, Dek. Mau permen rasa apa?" tanyanya sambil menunjukkan berbagai pilihan permen yang ada. Anak kecil itu memilih dengan antusias, dan Lis melayani dengan senang hati.
Rupanya, tidak semua pelanggan menyenangkan pada hari itu. Ada juga seorang wanita paruh baya yang terkenal rewel soal harga. "Lis, ini kok mahal banget? Bisa kurang nggak harganya?" tanyanya dengan nada yang agak tajam sambil menunjuk sebotol minyak goreng.
Lis tersenyum. "Maaf, Bu. Harga minyak goreng memang naik akhir-akhir ini. Kami sudah memberikan harga yang paling murah sesuai dengan yang kami dapat dari pemasok," jawabnya dengan tenang.
Wanita itu mendengus, tetapi akhirnya membayar dengan wajah masam. Lis menghela napas lega setelah wanita itu pergi, berusaha tetap menjaga senyum di wajahnya meski merasa sedikit lelah dengan keributan kecil tadi.
 Suasana di warung pagi itu tengah ketika tiba-tiba seorang pegawai kelurahan masuk dengan senyuman ramah.
"Selamat pagi, Lis. Ibu atau Ayah di rumah? Saya perlu salinan Kartu Keluarga, butuh segera untuk urusan administrasi," kata pegawai itu.
Lis tersenyum dan mengangguk. "Ibu sedang keluar sebentar, Pak. Ayah juga tidak di rumah. Tapi, saya bisa bantu cari. Tunggu sebentar ya," jawab Lis dengan sopan.
Lis lalu masuk ke dalam rumah, menuju lemari kayu besar di kamar orang tuanya. Dengan hati-hati, ia membuka lemari yang penuh dengan dokumen-dokumen keluarga. Ia mulai mencari Kartu Keluarga di antara tumpukan kertas, surat-surat lama, dan album foto. Jari-jarinya menyentuh sebuah map tebal yang tampak sedikit berbeda. Saat ia membuka map itu, matanya terpaku pada sebuah dokumen yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Dokumen itu adalah akta kelahirannya. Namun, yang membuatnya terkejut adalah nama orang tua yang tertera di sana bukanlah nama ibu dan ayah yang selama ini ia kenal. Di kolom nama orang tua, tertulis nama yang sama sekali asing baginya.
Saat itu, Lis merasakan seolah-olah dunia di sekelilingnya mulai berputar. Matanya mulai basah saat ia menelusuri lebih lanjut, mencoba memahami apa yang terjadi. Di map yang sama, ia menemukan surat adopsi yang mengonfirmasi bahwa dirinya adalah anak angkat. Tubuhnya mendadak terasa lemah, dan ia pun terduduk di lantai, dokumen itu masih tergenggam di tangannya yang bergetar.
"Ini... tidak mungkin," gumamnya dalam hati, berusaha mencerna informasi yang baru saja ditemukannya. Perasaannya campur aduk---terkejut, bingung, sekaligus terluka. Selama ini, ia tak pernah meragukan kasih sayang yang diberikan orang tuanya. Tapi, kenyataan ini mengubah semua yang ia ketahui tentang dirinya.