Mohon tunggu...
Mugi
Mugi Mohon Tunggu... Freelancer - Let me know if you have a time machine

Sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seperti Apa Konsep Pariwisata Ideal yang Seharusnya Dikembangkan?

12 Juli 2023   14:51 Diperbarui: 12 Juli 2023   14:53 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 14 Januari 2023 lalu, Sandiaga Uno yang merupakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menuliskan unggahan di akun Twitter peribadinya yang bisa dikatakan membuat heboh. Unggahan tersebut berbunyi begini:

Di Yogyakarta misalnya, kami melihat tingginya angka permintaan untuk menghadirkan taman air dan wisata kuliner sushi salmon mentai, karena hal ini adalah permintaan wisatawan yang belum terpenuhi. Untuk itu, kami mendorong para investor untuk mengeksplorasi berbagai peluang yang ada di Indonesia dan menghadirkan berbagai destinasi pariwisata baru sesuai dengan tingginya minat dan permintaan dari wisatawan.

Berbagai reaksi muncul atas cuitan tersebut. Ada yang menanggapi secara santai, tidak sedikit pula yang menggunakan sarkasme. Sarkasme yang banyak ditunjukkan adalah bahwa wisata Yogyakarta mesti mengikuti permintaan wisatawan, padahal terdapat kekhasan tersendiri yang selama ini menandai Jogja. Saya sendiri tidak ingin melakukan komentar atas cuitan tersebut. Tulisan ini saya buat justru karena berbagai pertanyaan kemudian muncul, pop up tanpa henti di kepala saya akibat topik yang menghangat tersebut.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang mengapa suatu daerah menjadi tempat wisata? Sepemahaman saya yang bukan ahli di bidang wisata, karena tempat tersebut unik. Jika dilihat makna harfiahnya di KBBI daring, unik berarti tersendiri dalam bentuk atau jenisnya; lain daripada yang lain; tidak ada persamaan dengan yang lain; khusus.

Otak saya merasa cukup bisa memahami makna tersebut. Saya pergi ke kebun binatang karena di sana memiliki keunikan tersendiri, yaitu adanya beragam fauna. Jika di kebun binatang hanya ada sapi, bebek, kambing, atau ayam, saya rasa saya tidak perlu mengeluarkan effort lebih untuk berkendara hingga kebun binatang terdekat yang jaraknya kurang lebih 11 kilometer dari tempat tinggal saya. Saya cukup berjalan ke halaman belakang rumah tetangga saya yang kebetulan memelihara sapi, kambing, bebek, dan berbagai jenis ayam.

Keunikan rasanya juga tidak bisa dilepaskan dari destinasi wisata sejarah. Uniknya arsitektur abad ke-9 rancangan Gunadharma hanya bisa kita temui di Candi Borobudur. Keunikan arsitektur Jawa bisa kita temui di Keraton Solo atau Yogyakarta. Meski sama-sama mengusung keunikan ala Jawa, nyatanya Solo memiliki hal yang tidak dipunyai Yogyakarta, pun sebaliknya. Daftar ini akan semakin panjang mengingat kebudayaan di tanah air sangat kaya ragam.

Selain itu, dikenal juga wisata kuliner. Menurut saya, ini pun tidak terlepas dari keunikan masing-masing. Di salah satu sudut Yogyakarta, kondang lupis Mbah Satinem. Orang-orang rela antri sejak pagi buta demi mencicipi legitnya kudapan legendaris itu. Padahal, penjual lupis di Yogyakarta tidak hanya Mbah Satinem seorang. Panganan tersebut bisa didapatkan di berbagai pasar tradisional yang ada di Kota Pelajar.

Fakta-fakta di atas kemudian mencuatkan pemikiran bahwa wisata---apa pun itu---terbentuk karena adanya sifat unik, lain dari yang lain, sehingga masyarakat ingin merasakan hal-hal tidak biasa tersebut. Jika tidak ada keunikan, tentu pesiar sambil menikmati kuliner tidak akan mengasyikan. Ini seperti yang dialami oleh Ismail Fahmi. Founder Media Kernel Indonesia tersebut bercerita bahwa beliau pernah berkeliling Maroko. Makanan yang jadi menu andalan di hampir setiap kota yang disinggahi bernama Tagines dan Couscous.

Di tanah air, tentu kita tidak akan menemukan kisah serupa. Wisata kuliner begitu mengasyikan di Indonesia karena setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke, memiliki panganan khasnya masing-masing. Memang tidak jarang kita menemukan warung makan khas daerah tertentu di kota tempat kita tinggal. Tetapi, menyantap kuliner tradisonal langsung di daerah asalnya tentu menawarkan sensasi berbeda. Dan menurut saya, ini menjadi salah satu keunikan wisata kuliner.

Tetapi, pengalaman lain juga menunjukkan bahwa apa yang disampaikan di akun Twitter milik Pak Menteri Sandi bahwa pemintaan wisatawan perlu dituruti itu ada benarnya. Daerah asal saya memiliki banyak sekali destinasi wisata pantai. Pada suatu waktu, pantai-pantai yang semasa saya kecil menjadi primadona, tak lagi ramai dikunjungi. Masyarakat memilih memadati destinasi pantai yang baru. Padahal, sebenarnya view yang ditawarkan tidak jauh berbeda. Hanya saja, destinasi-destinasi baru tersebut dilengkapi ornamen-ornamen sehingga dianggap lebih artistik dan instagrammable.

Ya, perkembangan zaman mengantarkan wisatawan pada tren berwisata yang baru, yang membuat mereka wajib posting foto-foto estetis di akun media sosial. Pantai-pantai yang ditinggalkan tersebut kemudian mengikuti strategi serupa, yaitu memasang ornamen-ornamen artifisial, dan perlahan berhasil menarik wisatawan untuk kembali datang. Menurut saya, perkembangan ini terjadi karena pengelola pantai mengikuti keinginan pasar, dan zaman.

Meski demikian, strategi mengikuti keinginan pasar bukannya tanpa cela. Wisata ala kampung Eropa, Jepang, dan Korea di Lembah Harau, Sumatera Barat misalnya. Sebagian pihak kontra pada destinasi wisata tersebut. Mereka menyorot bahwa wahana wisata tersebut tidak mencerminkan kebudayaan Indonesia, khususnya Minangkabau. Pendapat kontra lain mengatakan bahwa bangunan-bangunan artifisial di destinasi wisata tersebut merusak pemandangan alam asli yang ada di sana yang menurut mereka merupakan core dari wisata Lembah Harau.

Sampai di sini, saya malah menjadi semakin pusing. Sebenarnya seperti apa konsep wisata ideal yang seharusnya dikembangkan? Haruskan dipertahankan keunikan aslinya atau ikuti kemauan pasar? Katakanlah kombinasi keduanya mengingat zaman selalu berubah. Tetapi, ini pun kemudian memunculkan pertanyaan baru, yakni pasar yang seperti apa? Mengingat pasar wisata di tanah air juga bervariasi, sesuai kondisi masyarakatnya yang memang beragam.

***

Referensi:

https://padek.jawapos.com/sumbar/limapuluh-kota/18/12/2020/pro-kontra-wahana-eropa-korea-dan-jepang-di-lembah-harau/

https://twitter.com/ismailfahmi/status/1600257199351402497?t=3lvcYj4JpusBIZ9Pd2wsNQ&s=08

https://twitter.com/sandiuno/status/1614075593213227008?t=y8HesAj0ZoLpzLkA1RNfeQ&s=08

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun