Mohon tunggu...
Muhammad Nur Kholis Mughofar
Muhammad Nur Kholis Mughofar Mohon Tunggu... Swasta -

Saya orang desa yang bermimpi menjadi orang yang selalu dapat memberi manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekapur Sirih: Hidup dalam Kepalsuan

17 Mei 2016   10:23 Diperbarui: 17 Mei 2016   10:36 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Palsu sebuah kata yang multiarti. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘palsu’ berarti tidak tulen; tidak sah; lancung (tentang ijazah, surat keterangan, uang, dan sebagainya); tiruan (tentang gigi, kunci, dan sebagainya); gadungan (tentang polisi, tentara, wartawan, dan sebagainya); curang; tidak jujur (tentang permainan dan sebagainya); sumbang (tentang suara dan sebagainya). Kata ini juga sering bersanding dengan kata lain yang sudah tidak asing di telinga masyarakat. Seperti uang palsu, ijazah palsu, surat palsu dan sebagainya. Namun tidak banyak dari masyarakat kita tidak menyadari bahwa mereka hidup dalam lingkaran kepalsuan. 

Secara tidak langsung mereka menjadi objek dan subjek dari kepalsuan tersebut. Contoh ringan dari kehidupan sehari-hari kita,  khususnya kita sebagai bangsa yang terkenal ramah tamah senyum palsu pada atasan, tetangga, bahkan saudara yang sebenarnya memendam kemarahan yang lama. Senyum tersebut seakan menjadi tameng kebohongan yang bersinergi. Hal lain yang sudah menjadi rahasia umum istilah janji palsu sudah tidaklah menjadi suatu hal yang tabu. Padahal janji itu seperti halnya hutang yang harus dipenuhi dan ditepati. Kalau dilihat di kamus istilah banyak lagi istilah atau frasa yang menggunakan kata ‘palsu’. Saya menjadi teringat dengan sebuah sajak yang pada saat pertama kali mendegarnya sangat mencengangkan hati saya sekaligus menjadi semangat untuk selalu berbuat jujur.

Inilah Sajak Palsu Karya Agus R. Sarjono

SAJAK PALSU

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu. Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu. 1998

Sumber: Agus Sasrjono, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya,Horison, 2008

Sajak di atas meski dibuat beberapa tahun yang lalu sepertinya masih sangatlah tepat dan cocok sebagai ironi bagi kehidupan akhir-akhir ini. Sungguh karya yang luar biasa, ada hal yang sangat mendalam dan sangat  mendasar, yakni prinsip hidup, moral, norma, dan keyakinan saling berpadu. Semoga Sajak ini sebagai awal diri Saya untuk semakin bijak memaknai hidup. Hidup hanya sekali, di zaman serba instan tidak semuanya juga harus ikut-ikutan instan serba cepat tanpa melihat asas-asas kehidupan yang menjunjung budi pekerti dan kejujuran.

-Mari berkarya dengan jujur-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun