Mohon tunggu...
Mufti Halim
Mufti Halim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Iklan Disamarkan Menjadi Sebuah Berita

9 Januari 2023   09:47 Diperbarui: 9 Januari 2023   09:58 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak awal, advertorial telah memicu kekhawatiran tentang kemampuan mereka untuk menghadapi etika jurnalistik. Franklin & Murphy (1998) menyebutkan advertorial berkedok berita dan iklan mengklaim kebenaran karena terkait dengan berita. 

Dengan demikian, advertorial dibuat untuk menipu pembaca dan beresiko menyesatkan pembaca karena merasa sedang membaca berita daripada membaca iklan. Pada tahun 1991, Kotler meramalkan bahwa posisi advertorial akan menjadi semakin penting karena konsumen mempercayai skrip editorial (berita) lebih dari iklan. Sejak itu, advertorial telah menjadi praktik andalan Integrated Marketing Communication (IMC) dan menjadi alat pemasaran yang paling berkembang.

Stephen dan Patra (2015) menyebut advertorial sebuah alat komunikasi dengan reputasi penipuan. Karena reputasi dari penipuan, sebagai bagian dari kritik dan upaya melindungi kepentingan atau hak pembaca serta yang paling penting, untuk menegakkan penghalang antara berita dan periklanan (antara editorial dan bisnis), organisasi jurnalis profesional dan biro iklan di AS, Eropa, dan beberapa negara lain telah mengembangkan pedoman untuk mengatur advertorial, baik dalam konteks jurnalistik maupun iklan.

Isu terkait kode etik jurnalistik yang menjadi acuan wartawan Indonesia yang dirumuskan bersama oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) masih belum secara tegas mengatur masalah ini. Di Indonesia kode etik jurnalistik menitikberatkan pada pengaturan pilar pertama etika jurnalistik, memisahkan fakta dan opini.

Situasi ini adalah salah satu alasan mengapa praktek penyamaran garis batas antara advertorial dan berita menjadi masalah di Indonesia. Dalam konteks media cetak, misalnya praktik pengaburan iklan terjadi dalam berbagai cara. Misalnya, beberapa penerbit tidak menambahkan deskripsi 'advertorial' dan sebagai gantinya dibuat dengan singkatan 'adv' di akhir artikel.

Terkadang, kata 'adv' diganti dengan kode asterisk '*.' Kata 'adv' atau tanda asterisk dianggap sebagai penanda advertorial, tetapi kemungkinan besar tidak dipahami oleh publik hanya kesepakatan dalam media yang bersangkutan. Dengan kata lain, mengaburkan batas antara advertorial dan berita adalah praktik umum di media cetak saat ini.

Pada titik ini, dirasa Dinding api antara ruang redaksi dan ruang iklan tetap harus dikobarkan sehingga keduanya tidak saling bercampur dan membingungkan para pembaca. Industri media haruslah lebih dewasa untuk tidak mengakali para pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun