Mohon tunggu...
Mufti Halim
Mufti Halim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Konsumerisme terhadap Media

30 Oktober 2022   22:00 Diperbarui: 30 Oktober 2022   22:29 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai suatu bentuk budaya yang terlahir di era milenial, budaya populer tentu tidak asing di telinga masyarakat. Budaya pop di era ini merupakan budaya dari suatu pengalaman yang terlahir karena budaya konsumsi dan didukung oleh teknologi informasi yang serba baru.

Kehadiran media massa menjembatani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan diri dalam menjalani hidup kesehariannya, dan tentunya kecenderungan masyarakat masa kini yang lebih materialistis. Manusia membutuhkan kesenangan. Imbas dari kesenangan mengakibatkan konsumsi materi yang seolah tiada habisnya. Dari sini, prinsip kesenangan bertaut erat dengan konsumerisme.

Kesadaran aktif manusia sangat diperlukan dalam hal ini, terutama dalam kegiatan konsumsi yang memang dilatar belakangi dari macam-macam aspek. Namun, persoalan lebih lanjut adalah bahwa masyarakat masa kini sudah terkapitalisasi oleh sistem yang berwujud pada beragam hal, yang kemudian mempengaruhi manusia untuk menjauh dari titik kritis kesadarannya ketika melakukan kegiatan konsumsi guna kelancaran pasar kapital.

Kapitalisme akan menyeleksi, membentuk, dan mengolah sedemikian rupa agar produk tersebut selaras dengan permintaan pasar. Hal inilah yang dimaksud sebagai industri budaya, ketika produk budaya akhirnya mampu menciptakan produk sesuai permintaan pasar dengan standarisasinya tanpa memedulikan nilai intrinsik yang ada pada produk tersebut. Singkatnya  produk yang dihasilkan memiliki nilai tukar tinggi dengan nilai intrinsik rendah. Berbeda dengan produk budaya yang lahir dari masyarakat sendiri yang mana memiliki nilai intrinsik tinggi dengan nilai tukar yang rendah. Pada akhirnya pasar akan mengesampingkan produk budaya yang lahir dari masyarakat tersebut dan membuat suatu keadaan di mana masyarakat sudah tidak lagi bertindak sebagai pelaku aktif dalam penciptaan produk budaya yang beredar. Masyarakat hanya bersifat pasif menerima suplai produk-produk budaya, mulai dari menikmati musik, film, majalah, koran, konten digital, dan seterusnya. Suatu kondisi yang disebut Adorno sebagai tindakan konsumerisme pasif (passive consumerism). Sikap konsumerisme yang selalu dikritik nyatanya telah berevolusi ke tingkatan baru yang lebih mutakhir yaitu bernama konsumerisme pasif.

Jean Baudrillard dalam bukunya Consumer Society (1998) menjelaskan, bahwa perkembangan teknologi dan media telah memicu manusia jatuh pada maraknya godaan media dengan penawaran kemudahan, kesenangan, dan kenikmatan yang dibungkus oleh teknologi dan informasi. Ia membaca hal ini sebagai upaya pengiringan manusia melalui media agar terpenjara dalam masyarakat yang konsumtif.

Sikap konsumerisme ini bisa diamati dengan seksama pada kebiasaan masyarakat era digital dalam menjalani keseharian mereka seperti melalui gadget, game mobile, Netflix, Youtube, media-media sosial, dan bentuk produk digital lainnya. Demikian pula yang bisa diamati pada fenomena Tiktok sebagai pelambangan dari bentuk industri budaya yang canggih. Dengan standarisasi fitur dan template yang disediakan oleh developer, user dapat dengan mudah menggunakan aplikasi tersebut. Standarisasi yang merupakan bagian dari industri budaya tersebut juga menjadi alasan mengapa tidak ada bedanya video Tiktok di Indonesia, Thailand, maupun belahan negara lainnya. Produk budaya sudah bukan lagi merepresentasikan identitas yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Masyarakat dengan sikap konsumerisme pasifnya menikmati kemudahan dengan mengonsumsi produk-produk tersebut dengan ilusi untuk memenuhi kebutuhan psikologis mereka. Maka bukanlah suatu hal yang wajar apabila dalam sehari semisal pada pengguna Indonesia mampu menikmati hingga 100 video Tiktok per hari, dengan 30 miliar tontonan per bulan.

Sehingga sebagai penutup, konsumerisme adalah hasil dari konstruksi. Ia tidak hadir begitu saja atas dasar kecerobohan masyarakat yang kemudian ditata oleh media hingga menjadi suatu budaya di dalam masyarakat, yang pada akhirnya menggeser cara pandang masyarakat dalam memandang sekaligus membedakan mana yang sebenarnya adalah kebutuhan atau keinginan. Dan di sinilah Baudrillard dalam konsep hyper-realitas (Baudrillard, 1998:2) menduga bahwa yang terbentuk dalam masyarakat masa kini ialah kebutuhan palsu.

Referensi 

Adorno, T. (2001). The Culture Industry: The Enlightenment as Mass Deception. London & New York: Routledge.

Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society: Myths and Structures. London, England: Sage

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun