Mohon tunggu...
Muftia Oktavialih
Muftia Oktavialih Mohon Tunggu... -

Communication Science 2010, Jenderal Soedirman University | Writing is my passion, I write almost everything I want to write | Reading is my addiction, it's something I can't live without

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mainan Baru Pemerintah : Kebijakan

14 Juni 2012   21:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah dan rakyat merupakan elemen penting dalam sebuah negara. Seperti dua sisi mata koin yang berlawanan, elemen tersebut tidak dapat dipisahkan. Tanpa pemerintah, rakyat tidak akan bisa hidup secara teratur karena tidak ada yang memfasilitasi. Tanpa rakyat, pemerintah tidak ada apa - apanya. Keduanya saling membutuhkan. Ketika sudah tercipta kata 'saling', ini berarti ada hal - hal yang secara logika dihalalkan untuk dilakukan meskipun mengorbankan sesuatu demi mencapai tujuan tertentu oleh suatu pihak. Lalu, muncul lah keadaan dimana pihak yang mempunyai kekuatan lebih besar yang memegang kendali kekuasaan.

Secara struktur, jelas pemerintah berada di atas awan. Artinya, mereka mempunyai akses yang lebih besar ke berbagai aspek kehidupan. Maka, tidak jarang kita melihat banyak pemerintahan yang berubah menjadi rezim karena menggunakan gaya pemerintahan otoriter. Sebut saja Bashar Al - Assad, Husni Mubarak dan Muammar Al - Qaddafi. Mereka merupakan sosok bertangan dingin yang memerintah negaranya. Otoritas yang mereka miliki digunakan untuk memerintah dengan cara mereka. Mungkin, mereka berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan untuk negara, semua tanggung jawab secara penuh berada di tangan mereka. Kemudian, titik fokus dari semua ini adalah rakyat. Mengapa? Karena disini, rakyat menjadi pihak yang selalu terkena dampak dari beragam gaya pemerintahan pemimpin di negaranya.

Berbicara mengenai pemerintah dan rakyat, kebijakan menjadi alat penghubungnya. Secara teori, kebijakan dibuat oleh pemerintah bukan untuk menyusahkan rakyatnya, justru membantu rakyatnya agar lebih mudah untuk menjalani kehidupan sehari - hari. Singkatnya, kebijakan dibuat untuk menyejahterakan rakyat. Namun, apa yang terjadi pada praktiknya? Kebijakan dibuat oleh pemerintah dengan proporsi suara yang lebih besar dari berbagai pihak (dalam hal ini aliansi pemerintah dan para stakeholder) dibandingkan dengan suara rakyat. Kebijakan diibaratkan sebagai sebuah tender yang menjadi incaran para developer. Hasilnya? Terciptalah kebijakan - kebijakan yang sangat menguntungkan bagi pemerintah dan membuat sengsara rakyat. Lagi - lagi, rakyat seperti telur di ujung tanduk yang hanya menunggu angin berhembus untuk menjatuhkannya.

Seringkali rakyat dibuat kewalahan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu topik hangat akhir - akhir ini adalah kebijakan pencabutan subsidi BBM dimana nantinya harga premium bisa saja sama dengan harga pertamax. 'Apa yang salah dengan subsidi? Bukankah subsidi hadir untuk membantu rakyat? Jika iya, mengapa harus dicabut?' Ya, kita semua mengetahui bahwa ketika subsidi BBM dicabut, konsumsi terbesar rakyat justru dialokasikan untuk biaya pembelian bahan bakar untuk kendaraan mereka. Lalu, seiring dengan kenaikan harga premium, harga barang pokok juga ikut naik. Ketika semua itu terjadi, implikasinya adalah pada kesejahteraan rakyat : kenaikan tingkat konsumsi yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan.

Kasus lainnya adalah kebijakan mengimpor beras sebagai bahan pokok pangan rakyat. Sudah pasti kebijakan ini membuat rakyat akhirnya mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk membeli beras. Bagaimana tidak, beras yang kita makan merupakan beras impor, harganya tentu lebih mahal daripada beras lokal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar 'Untuk apa mengimpor? Bukankah Indonesia penghasil beras?'. Pertanyaan seperti inilah yang berkembang kemudian. Mengapa pemerintah tidak memberdayakan apa yang kita miliki saja? Alokasikan dana untuk pemberdayaan petani agar produksi beras meningkat, hal ini tidaklah mustahil untuk dilakukan. Jika pemerintah berkelit masalah dana, potong saja gaji pejabat pemerintahan untuk mendanai program pemberdayaan itu. Tidak mau? Ingat dulu janji manis yang diumbar, seputar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kalau tidak dipenuhi juga, berarti terlihat sikap apatis dan pragmatis para pejabat pemerintahan yang hanya menimbun kekayaan bagi diri dan keluarga mereka saja.

Rakyat seakan menjadi uji coba eksperimen pemerintah terhadap kebijakan - kebijakan baru yang mereka miliki. Tidak cocok dengan kebijakan A, sudah muncul kebijakan B yang diciptakan sebagai substitusi kebijakan A. Kekurangan di kebijakan B ditambal dengan kebijakan C. Semua ini terlihat seperti permainan dimana pemerintah, dalam hal ini menjadi sutradara dan rakyat sebagai aktor yang akan mengikuti semua arahan sang sutradara.

Indonesia menganut sistem demokrasi. Tidak bisakah setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah terlebih dulu meminta persetujuan dari rakyatnya? Dimana sisi demokrasinya jika kebijakan dibuat hanya untuk kepentingan beberapa pihak? Pemerintah seharusnya sadar bahwa rakyat bukanlah mainan. Rakyat juga memiliki suara yang patut didengar. Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang pro rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun