Stadion Brawijaya Kediri malam itu penuh sesak. Iya, malam itu stadion Brawijaya menjadi tuan rumah untuk laga final Piala Gubernur Jatim 2015. Satu hal yang membuat Persik Mania, julukan untuk para supporter Persik berbondong-bondong datang ke stadion adalah karena tim kesayangan mereka akan berlaga melawan Persegres Gresik untuk memperebutkan gelar juara. Dalam laga itu Persik menang atas Persegres dengan skor 2 – 1. Tentu saja gemuruh haru dan bahagia supporter tak terbendung, pasalnya itu adalah gelar kelima Persik Kediri selama mengikuti turnamen pemanasan piala Gubernur Jatim.
Ironisnya, usai Persik Kediri raih gelar juara esok harinya PSSI mengumumkan bahwa Persik dan Persiwa Wamena dicoret dari keikutsertaannya dalam Indonesia Super League (ISL) 2015. Pasalnya, kedua klub tersebut dianggap belum memenuhi syarat untuk mengarungi kompetisi musim ini. Syarat yang belum dipenuhi adalah kedua klub dianggap belum sehat secara finansial.
Dalam rilisnya, PSSI mensyaratkan kepada seluruh klub peserta ISL untuk menyediakan dana sebesar 15 miliar rupiah sebagai bukti bahwa klub sudah siap secara keuangan. Dengan dicoretnya Persik dan Persiwa, PSSI sebagai operator liga memberikan dua pilihan kepada mereka. Pertama, Mempersilahkan Persik dan Persiwa mengikuti divisi utama pada musim ini. Atau Mempersilahkan kedua klub untuk “vakum” dari sepakbola Indonesia musim ini dan diberikan jatah untuk berlaga di divisi utama musim depan.
Selain mencoret Persik dan Persiwa, PSSI juga melakukan verifikasi lanjutan untuk enam klub ISL yang masih belum sepenuhnya memenuhi syarat. Syarat yang diamksud masih tentang keuangan klub yang “sehat”. Enam klub tersebut adalah, Persija, Arema, Persebaya, PSM, PBR, dan
Persijap?
Bagaimana dengan Persijap? Dalam obrolan-obrolan ataupun postingan para “supporter” Persijap yang menghiasi dunia nyata dan maya, mereka masih menaruh harapan besar agar Persijap musim depan bisa kembali lagi berlaga dalam kompetisi kasta tertinggi sepakbola Indonesia, ISL. Apakah harapan itu salah? Tentu saja tidak. Sudah sewajarnya bahwa seorang pendukung sebuah klub sepakbola ingin menyaksikan klub kebanggaannya berlaga di kasta tertinggi. Keinginannya yang tinggi itu tentu saja harus kita pikirkan ulang jika kita melihat kondisi Persijap dalam beberapa musim terakhir.
Pada awal pagelaran ISL yang diikuti Persijap pada tahun 2008 hingga tahun 2010 bisa dikatakan sebagai musim yang cukub baik. Pasalnya klub-klub ISL kala itu masih diperbolehkan untuk mendapatkan dana “hibah” dari pemerintah. Keuangan yang cukup stabil walupun bukan dalam jumlah yang besar, tetap memungkinkan Persijap untuk merekrut pemain-pemain yang berkualitas semacam Pablo Frances, Phaitoon Tiabma, atau juga Junior.
Keadaan mulai sedikit goyah ketika PSSI tidak memperbolehkan penggunaan dana pemerintah untuk membiayai klub sepakbola. Tujuan untuk membuat sebuah kompetisi yang profesional mengharuskan klub mencari sumber pendanaan sendiri. Mayoritas klub yang kala itu berstatus sebagai perserikatan ataupun yayasan kemudian “dipaksa” oleh PSSI untuk menjadi PT. hal ini juga terjadi pada Persijap dan menimbulkan klub tidak stabil.
Persijap Kini?
Musim 2015, Persijap Jepara akan berkompetisi di Divisi Utama. Jika banyak yang pihak yang kecewa dengan terdegradasinya Persijap dan mengaharuskan klub ini berlaga di kompetisi kasta kedua. Tetapi apakah memang seharusnya kita harus kecewa?
Perbincangan berlanjut pada sebuah wacana yang banyak berkembang di banyak klub sepakbola di Indonesia. Perbincangan wacana yang dimaksud adalah mengenai seberapa penting korelasi antara pengelolaan klub yang baik oleh manajemen dengan prestasi klub? Banyak yang menganggap bahwa prestasi klub yang utama, ada pula yang beranggapan bahwa pengelolaan klub yang baik menjadi hal yang lebih utama dibandingkan memikirkan prestasi tertinggi.
Saya pribadi berada pada kelompok yang mendukung sebuah klub dikelola dengan manajemen yang baik terlebih dahulu, bukan saya tidak menginginkan adanya sebuah prestasi. Saya rasa berawal dari pengelolaan klub yang baik akan berbanding lurus dengan prestasi yang dicapai.
Kita bisa lihat, banyak klub yang “memaksakan” diri mengikuti kompetisi tertinggi semacam ISL padahal secara kemampuan klub sebenanrnya belum layak. Alhasil diakhir musim banyak klub-klub ISL yang masih mempunyai tunggakan gaji yang belum dibayarkan. Bahkan klub sekelas Persija, Arema, ataupun Persebaya mengalami masalah yang sama. Kesulitan untuk membayar gaji pemainnya tepat waktu.
Padahal kita semua tahu, bahwa klub-klub tersebut mempunyai “nilai jual” yang bisa dimaksimalkan untuk perekrutan sponsor, merchandise, dan tiket pertandingan.
Belajar dari kasus musim lalu
Persijap sendiri menjalani ISL musim lalu dengan hasil buruk. Persijap terdegradasi ke divisi utama. Dibandingkan kontestan yang lain, musim lalu Persijap mengawali musim dengan persiapan yang minim. Minim dana, minim sponsor, dan sedikit konflik internal dalam tubuh manajemen dan pengurus klub. Sampai pada dimana Johar Lin Eng (JLE) seorang pengusaha asal Semarang bersedia untuk membantu Persijap dengan membeli saham mayoritas Persijap kala itu.
Tak banyak yang tahu sebenarnya seperti apa kesepakatan antara manajemen Persijap kala itu yang diwakili CEO Persijap, Said Basalamah dengan Johar Lin Eng. Supporter hanya tahu bahwa mayoritas saham klub dibeli oleh seorang pengusaha. Sebagaimana klub-klub sepakbola yang sudah profesional, jika seseorang sudah membeli saham sebuah perusahaan, tentunya ia akan berusaha untuk meningkatkan pendapatan klub. Mengenai hal ini, supporter tak banyak yang tahu.
Suporter sedikit berbahagia ketiaka manejemen pernah mengatakan bahwa akan ada perusahaan yang menjadi sponsor Persijap. Sebuah perusahaan makanan asal Malaysia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang data dan analisis statistik pertandingan asal Singapura, juga perusahaan apparel Eureka asal Thailand.
Dari beberapa nama sponsor yang dikatakan akan bekerjasama dengan Persijap, hanya apparel Eureka yang tetap menjadi penyedia apparel hingga akhir musim. Sedangkan perusahaan asal Malaysia dan Singapura yang pernah disebutkan tidak tampak.
Masalah lain muncul ketika apparel Eureka yang menjadi penyedia seragam bertanding Persijap susah didapatkan oleh supporter di Jepara. Hingga akhir musim keinginan supporter untuk memilik kostum Persijap “asli” tidak juga terpenuhi. Menurut Said Basalamah, ada kesalahan berkas impor yang menjadikan menjadikan kostum asal Thailand itu tidak bisa dipasarkan di Indonesia. Ada masalah dengan pihak bead an cukai. Hal ini menyebabkan pendapatan Persijap dari penjualan kostum bertanding otomatis tidak ada. Padahal minat warga Jepara untuk membelinya cukup besar.
Kesulitan dana musim lalu tak pelak mengharuskan manajemen memutar otak untuk mendapatkan dana guna memastikan Persijap tetap bisa mengarungi kompetisi ISL musim lalu. Ketika penawaran kerjasama sponsorship dengan pihak di luar Persijap tak kunjung membuahkan hasil penyelesaian masalah kala itu adalah “memaksa” manajemen untuk membiayai Persijap dengan kantong mereka sendiri.
Harapan kami, semoga pengelolaan Persijap seperti musim lalu tak terulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H