[caption id="attachment_354830" align="alignleft" width="150" caption="Sir Mohammad Iqbal"][/caption]
Islam adalah jalan hidup. Hidup bukan sekedar hidup, hidup untuk mencapai kesuksesan di kehidupan selanjutnya yaitu di kampung akhirat. Dunia adalah tempat menanam. Sedang masa panennya adalah di kampung akhirat kelak.id
Itulah yang mendasari kehidupan seorang Muslim. Kehidupan yang dipandu oleh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Pendidikan yang dimaui Rasulullah bukan sekedar membuat seseorang cakap dari segi keilmuannya, tapi yang lebih penting adalah cakap dalam mencerminkan akhlak mulia dalam segala tingkah lakunya.
Ajaran akhlak Rasulullah SAW inilah yang merasuk dalam jiwa ayah Muhammad Iqbal. Iqbal yang seorang filosof, penyair, intelektual yang berasal dari Pakistan dididik oleh tangan seorang sufi, yang bekerja keras demi agama dan kehidupan. Dituturkan darinya, bahwa pada suatu ketika, sewaktu ayahnya melihat Iqbal senang membaca Al-Qur’an, maka katanya:
“Bila kamu ingin memahami Al-Qur’an, bacalah seakan ia diturunkan kepadamu”.
Ayahnya berusaha mendekatkan Iqbal sedekat mungkin dengan pegangan hidup utama seorang Muslim, Al-Qur’an, kitab suci yang mulia. Dalam Al-Qur’an itu bertebaran berbagai ajaran, pegangan tentang bagaimana menjalani hidup.
Tak hanya itu, ayahnya Iqbal berusaha mendekatkan jiwa anaknya sedekat mungkin dengan pribadi mulia Nabinya. Rasulullah Muhammad SAW, sang teladan yang tak lekang oleh zaman. Diceritakan Iqbal sendiri, dalam Rumuz-I Bekhudi,
Pada suatu hari, seorang peminta yang kelelahan dengan berulang-ulang mengetuk pintu. Akupun menjadi marah. Kepalanya pun kupukul dengan sebuah tongkat. Hingga bertebaranlah apa yang ia bawa. Memang pikiran pada masa muda tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang keliru. Kejadian ini ketahuan oleh ayah. Mukanyapun berubah menjadi kelam. Betapa sedihnya ayah pada waktu itu dan ia menangis. Akupun menjadi gelisah. Maka kata ayah :
“Kelak, ketika umat Muhammad ini akan berkumpul di hadapan Tuhannya. Semua penakluk, para bijak, syahid, zahid, ilmuwan, durjana, dan penjahat akan dihimpun. Pada waktu itu, peminta yang tiada berdosa ini akan mengadu pada-Nya. Maka, apakah yang akan kukatakan pada Nabi, apabila ia berkata kepadaku:
Duhai anakku. Marah Nabi yang mulia dan rasa maluku adalah rasa takut dan harapku. Berpikirlah sejenak. Ingatlah hari dihimpunnya umat manusia.
Duhai anakku. Lihatlah uban, kegelisahan, dan keresahanku. Janganlah kau siksa ayahmu ini. Dan janganlah engkau perburukkan aku di hadapan Allah. Engkau cendawan pada batang al-Mushtafa. Jadilah melati dari angin musim seminya. Ambillah sebagian angin dan warna musim seminya. Tidak boleh tidak kamu harus mendapatkan sebagian akhlaknya.”
Itulah pola pendidikan sang sufi kepada anaknya. Betul-betul menghadirkan pesona akhlak Nabinya kepada sang anak. Ketika anaknya berbuat sesuatu yang tak sesuai dengan akhlak Nabinya, ia langsung menegur seolah hari pembalasan hadir di depan matanya. Ia menangis dan mengadu kepada anaknya, ia bingung bagaimana ia menjawab pertanyaan Nabinya tentang kelakuan anaknya itu.
tulisan ini juga dipublish di http://ibnumufti.blogspot.com/2014/11/ketika-mohammad-iqbal-tersentuh.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H