Imam Hatim Al-Asham merupakan salah satu ulama abad pertengahan yang namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia khazanah islam. Beliau adalah seorang sufi yang lahir pada abad ke 7 di daerah Khurasan yang sekarang dikenal sebagai Irak. Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan al-Asham. Kata al-Asham sendiri adalah suatu julukan yang disematkan kepada beliau yang kalau diartikan secara bahasa adalah seorang yang tuli. Namun, julukan tersebut bukan semata-mata karena beliau benar-benar tuli, akan tetapi beliau berpura-pura tuli demi menjaga kehormatan seseorang.
Jika kita ingin meneladani bagaimana Imam Hatim al-Asham bertasawuf dan merenungkan tentang arti dari kehidupan itu sendiri, maka selayaknya kita mengetahui tentang 8 faidah atau hikmah yang disampaikan oleh beliau dengan analisis tasawufnya yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah.
Interpretasi Imam Hatim al-Asham ini diabadikan dalam kitab karangan Imam al-Ghazali yang berjudul “Ayyuhal Walad”. Sebuah kitab tipis yang berisikan tentang nasihat-nasihat seorang guru yaitu Imam al-Ghazali sendiri kepada murid-muridnya. Maka, pada tulisan ini akan dijabarkan setiap point dari apa yang diutarakan Imam Khurasan itu.
Dikutip dari kitab tersebut bahwa suatu hari, Imam Hatim Al-Asham ditanya oleh sahabatnya, Syaqiq al-Balkhi. “Engkau telah bersahabat denganku selama 30 tahun, apa yang engkau dapatkan selama ini?” tanya Syaqiq. “Aku telah mendapatkan 8 faidah(hikmah) dari ilmu tercukupi untukku, karena aku mengharapkan keselamatanku pada 8 faidah tersebut ,” jawab Imam Hatim. Maka Syaqiq bertanya, “Apa faidah-faidah itu?”. Lalu beliau menjawab:
(faidah pertama): “Kuamati kehidupan manusia, kudapati setiap manusia memiliki kecintaan dan kesayangan. Dari beberapa kecintaannya itu, ada yang menemaninya sampai pada sakit yang menyebabkan kematiannya, dan ada yang mengantarnya sampai ke pekuburan. Setelah itu mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri, tidak ada satu pun orang yang bersedia masuk ke dalam kubur menemaninya. Kurenungkan hal ini lalu kukatakan: "Sebaik-baik kecintaan adalah yang mau menemani seseorang di dalam kubur dan menghiburnya. Aku tidak mendapatkan yang demikian itu kecuali amal saleh". Oleh karena itu, kujadikan amal saleh sebagai kecintaanku agar dapat menjadi pelita kuburku, menghiburku di dalamnya, dan tidak akan meninggalkanku seorang diri.”
Dalam renungan tasawuf beliau tersebut, dapat dikatakan bahwa beliau berpegang terhadap sikap kezuhudan yang menafikan cintanya kepada apapun selain amal-amal shaleh. Oleh karenanya, renungan ini memberikan kita suatu point bahwasannya setiap yang kita miliki mau berupa harta, tahta, permata, bahkan keluarga pun akan meninggalkan kita, maka siapa yang bisa menemani kita saat kita wafat nanti? Dia adalah Amal Shaleh.
(faidah kedua): “Kuperhatikan bahwa manusia selalu mengikuti hawa nafsunya, dan bersegera dalam memenuhi keinginan nafsunya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya)."(QS an-Nazi'at: 40-41). Aku yakin bahwa Al-Qur'an adalah haq dan benar, maka aku bersegera menentang hawa nafsuku dan menyiapkan diri untuk memeranginya. Tidak sekali pun aku ikuti kehendaknya sampai akhirnya ia tunduk dan taat kepada Allah.”
Definisi hawa nafsu sendiri adalah substansi jiwa manusia yang tidak dapat dihilangkan, melainkan dapat dikendalikan dan diarahkan. Esensi hawa nafsu itu sendiri adalah netral. Maka, komparasi yang direnungkan oleh Imam Hatim al-Asham yang melandaskan segala renungannya dengan ayat al-Quran lalu menjadikan ayat itu sebagai kontradiksi dari fakta yang terjadi saat itu merupakan bentuk pemikiran tasawuf yang ideal. Bentuk kepercayaan dan penghambaan yang sangat sederhana, namun memiliki makna yang sangat dalam. Seperti mengisyaratkan kita bahwa jika kita benar-benar memiliki kepercayaan yang mutlak kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada jalan selain menghamba kepada-Nya dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
(faidah ketiga): “Aku melihat setiap orang berusaha mencari harta dan kesenangan duniawi, kemudian menggenggamnya erat-erat. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal". (QS. an-Nahl: 96). Karena itu, kubagi-bagikan dengan ikhlas penghasilanku kepada kaum fakir miskin agar menjadi simpananku kelak disisi-Nya.”
Dalam faidah ini, sang imam Khurasan itu mengkomparasikan ambisi manusia terhadap duniawi dengan kenyataan mutlak dari firman Allah SWT. Bahwa segiat apapun manusia dalam meraih ambisi duniawinya dan sebanyak apapun sesuatu yang diperolehnya, tetap tidak akan berguna di sisi Allah Ta’ala. Karena Allah mampu dengan mudah melenyapkan apapun yang dimiliki oleh manusia. Maka untuk apa manusia mati-matian mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati.