Mohon tunggu...
Muflih Saifuddin
Muflih Saifuddin Mohon Tunggu... -

Menyukai dunia pertanian,politik, dan soshum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balada Agraria Bumi Pertiwi

9 Agustus 2010   14:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Terlupakannya jati diri bangsa sebagai Sang Agraris menjadikan selalu berada pada lingkaran setan yang tak ubahnya menjadikan semakin terpuruknya nasib para petani.

Berjuluk negara agraris, itulah ibu pertiwi. Atas dasar apa negara ini mendapatkan julukan seperti itu, semua orang tentu tahu. Negara agraris dalam benak semua orang adalah negara dengan kondisi tanah yang subur sehingga dalam angan – angan dapat digambarkan sebagai suatu keadaan yang kata orang Jawa adalah gemah ripah loh jinawi, atau juga seperti yang tersirat dalam lirik lagu band kawakan koesplus “tongkat pun bisa tumbuh menjadi pohon”. Ini berarti masyarakat indonesia seharusnya mampu untuk merasakan commonwealth jika mereka mampu bermimpi benar – benar hidup di negara agraris. Jika dahulu kala penjajah Belanda selama berabad – abad mampu menikmati nikmatnya ke-agraris-an indonesia dengan begitu beraninya memperkosa ibu pertiwi atau lebih halusnya mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini, tetapi marilah kita melihat ketika kecemburuan bangsa ini berapi – api yang kala itu direfleksikan dengan merobek lambang biru tanda kesejahteraan bangsa belanda sehingga semuanya telah diambil alih selamanya, MERDEKA! Kata mereka. Pertanyaan singkatnya, “dengan cemburu butanya, mampukah bangsa ini meneruskan kejayaan atau prestasi yang ditorehkan penjajah? ”. Tampaknya sebentar lagi sudah 65 tahun, umur yang relatif dewasa.

Filosofi sebagai negara agraris tampaknya perlahan semakin sirna. Berbagai macam realita justru semakin memperkuat bahwa negara ini semakin kebingungan, suatu kendala mungkin yang dirasakan penyandang negara berkembang. Antara manakah yang harus diprioritaskan, pertaniankah atau semakin menggencarkan industri untuk mengejar julukan baru sebagai negara maju yang entah sampai kapan dapat diraih. Atau mungkin punya cita – cita untuk dapat menyeimbangkan seperti dalam hukum ekonomi yaitu tercapainya titik equibilirium.

Jika beberapa waktu lalu sempat sejenak merasakan sedikit jaya dengan pencapaian swasembada beras, tentu hal tersebut sedikit membuktikan bahwa julukan agraris memang benar untuk disandang Indonesia. Pemerintah pada waktu itu selayaknya bangga dengan pencapaian tersebut. Prestasi tersebut tentu saja menjadi sebuah cerminan untuk membuktikan bahwa Indonesia memang layak disebut negara agraris, sedikit angin segar.

Sebagai komoditi pangan utama tentu beras menjadi substansi penting yang menjadi tolak ukur berhasil tidaknya penyandang gelar agraris ini. terlalu jauh sebenarnya ketika berbicara tentang berhasil tidaknya agraria atau lebih tepatnya pertanian di negeri tercinta. Kompleks sekali ketika berbicara tentang kondisi pertaniaan negeri ini. mulai dari carut marutnya mulai dari sub – sistem hulu-nya sampai dengan pemasaran dan sarana penunjang produksinya.

Birokrasi yang meng-handle dalam hal ini Kementerian Pertaniantentu menjadi pihak yang paling banyak mendapat sorotan ketika kondisi pertanian sebagai sektor yang strategis malah amburadulnya semakin menjadi – jadi. Bagaimana tidak, petani yang sebagian besar terdiferensiasi sebagai petani kelas gurem semakin menjerit – jerit ketika Sang birokrat mencoba untuk melakukan terobosan baru tentu dengan tujuan yang sangat mulia, mensejahterakan petani yang sampai sejauh ini hasilnya tidak begitu signifikan. Sampai sekarang ini sub-sistem mulai dari hulu sampai hilir masih begitu carut marutnya bagaikan benang kusut yang suasah sekali bahkan hampir tidak bisa ditemukan ujungnya. Mulai dai permasalahan pupuk sampai pemasaran produk pertanian yang senantiasa tidak jelas dan minim sekali peran pemerintah sebagai Sang pengatur, Belum lagi kebijakan- kebijakan pusat yang secara langsung mencekik leher petani. Lihat saja ACFTA, kegrusuan pemerintah dalam mengambil kebijakan dengan menyetujui MoU dengan negeri panda tersebut tidak terlebih dulu memikirkan ketidaksiapan bangsa ini, dan apa yang terjadi? Produk pertanian lokal menjadi semakin kalah. Akhirnya petani-pun semakin kesakitan. Entah ini sampai kapan terselesaikan. Tentunya menunggu negeri ini siap.

Kecenderungan tidak tereksposenya oleh publik karena memang pertanian di mata masyarakat tidak ngetrend dibanding dengan kasus lain yang lebih up to date menjadikan sektor ini domainnya selalu dicuekin. Kurangnya kepedulian oleh bangsa sendiri terutama para pelaku sektor ini tentu menjadi salah satu penyebab ketertinggalan petani kita. Jika kita membandingkan dengan kasus lain tentu infonya lebih terkini dibanding ini. Siapa yang ketinggalan beritanya Ariel, atau Siapa yang nantinya memimpin KPK, tentu kebanyakan orang lebih tau secara mendetail atau mungkin bisa memberikan ramalan dan juga komentar panjang lebar akan hal tersebut.

Sebenarnya dibutuhkan sekali penyedia informasi yang menaungi petani. Maka muncul-lah di bumi pertiwi bermacam – macam elemen yang konon katanya memberikan secercah harapan pada masyarakat tani.Dan tentu saja elemen tersebut tidak lain adalah organisasi – organisasi atau bisa dikatakan semacam himpunan yang akan melindungi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat tani. Mungkin kegelisahan pada kondisi sektor agraria yang mendasari bercokolnya organisasi tesebut. Contoh saja munculnya HKTI (Himpunan Keluarga Tani) yang jelas sekali membawa bendera pertanian. Mungkin bagi sebagian petani merupakan suatu harapan baru, pengharapan kesejahteraan. Wajah – wajah tidak asing kelihatannya memberikan harapan perubahan, para politikus. Tapi nanti dulu, nuansa politis jangan sampai menjadikan si petani menjadi lebih terombang ambing nasibnya. Jangan sampai sektor nan strategis ini juga menjadi lahan politisasi yang subur juga. Bisa saja terjadi sebenarnya. Tentu lingkaran setan pertanian menjadi lebih semrawut bila hal ini sampai terjadi. Dan kapan petani berjaya? Kapan pahlawan kemanusiaan berkibar? Siapa lagi yang memberi makan bangsa ini tanpa petani?

Mazhab perekonomian negeri ini tentu bisa ditanyakan kanapa kondisi pertanian kita cenderung tertinggal, seperti yang dikatakan Meuthia (Kompas, 9/8) yaitu situasi chaos as normal order (penuh ketidakpastian). Penganut antara golongan kanan dan kiri, suatu posisi yang jelas sekali kebingungan. Saatnya pemerintah dan bangsa ini sama – sama belajar dari teori kunonya Fisiokrat, yaitu dengan menjadikan sektor pertanian menjadi ujung tombak, sebagai andalan perekonomian.

“Saatnya negara bertumpu pada pertanian karena lebih menghargai ibu pertiwi sebagai Sang agraris yang agraris, pertanian maju negeri pasti maju”.

Ahmad Muflih Saifuddin

Peneliti Agrososioekonomi

UNSOED

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun