Televisi di Indonesia hari ke hari tidak kunjung menampakkan perubahan perilakunya. Televisi masih memberatkan konten pada hiburan. Muatan edukasi masih sedikit disaji. Padahal, jika kita melihat kembali tujuan pembentukan media adalah sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Hal ini akan sangat berbeda dengan praktik di lapangan yang kita temui. Konten hiburan yang kental, dengan kualitas edukasi yang minim menjadikan televisi sebagai senjata pembodohan massal melalui penurunan kesadaran moral masyarakat.
Masyarakat di jejali dengan pesan-pesan tertentu yang dikontruksi. Sehingga membentuk persepsi bahwa pesan-pesan yang disampaikan adalah yang paling benar. Persepsi masyarakat di atur seakan-akan menjadi realitas yang harus diikuti oleh masyarakat.
Sebagai contoh, adalah merebaknya Blackberry (BB) di Indonesia. Televisi turut bertanggung jawab terhadap meledaknya penjualan BB di Indonesia. Pada awal-awal kemunculannya, BB ditampilkan melalui sinetron dan iklan. Televisi membentuk persepsi publik bahwa pengguna BB adalah orang yang modern, terdidik, sangat up to date dan mempunyai pergaulan yang luas.
Melalui penyajian pesan secara terus menerus, masyarakat pun mulai menerima hal tersebut. Kini kita dapat melihat hasil kontruksi pesan tersebut. Kontruksi pesan ini memunculkan kelas baru pada masyarakat. Kelas pertama pengguna BB sebagai kelas masyarakat elit, terdidik dan up to date. Kelas kedua adalah bukan pengguna BB, merupakan kelas biasa yang memiliki keadaan ekonomi sebaliknya.
Puncaknya BB menjadi kebutuhan baru yang harus dipenuhi. Mengalahkan kebutuhan lain. Pengguna BB lebih rela uang mereka digunakan untuk membeli pulsa daripada untuk makan. Agar dapat terus menggunakan fitur BB Messager. Hal ini dilakukan agar mereka tetap diakui ada dan eksis. Gejala ini serupa dengan kebutuhan rokok bagi perokok.
Antrian launching awal BB Bold terbaru di salah satu Mall di Jakarta beberapa waktu lalu, pun menjadi fenomena pendukung. Antrian massa yang berujung ricuh tersebut sangat mirip dengan antrian masyarakat miskin yang mengantri beras atau Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini mengindikasikan perubahan sosio-psikologis masyarakat urban. Mereka rela berdesak-desakan, saling dorong dan tidak mempedulikan orang lain, hanya untuk sekedar mendapatkan gadget terbaru.
Fungsi utama media televisi sebagai sumber informasi yang bermuatan edukatif harus dikembalikan. Fungsi ini harus diletakkan lebih tinggi dibanding fungsi hiburan. Tujauannya agar kehadiran televisi sebagai media pencerahan dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Stasiun televisi di Indonesia harus belajar bagaimana National Gheographic Channel menyajikan pengetahuan dengan cara menyenangkan dan mencerahkan. Sehingga status televisi di Indonesia dapat lebih terangkat. Naik kelas menjadi sejajar dengan stasiun televisi internasional. Menjadi rujukan ilmiah yang valid. Bukan sekedar penyaji tayangan cinta anak muda dan konflik rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H