Mohon tunggu...
Mufid Muhammad Baihaqi
Mufid Muhammad Baihaqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Biasa

Memiliki ketertarikan dalam bidang ilmu humaniora, khususnya dalam bidang sejarah dan kebudayan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maulid Nabi Muhammad SAW dari Budaya, Ekspresi Beragama, dan Media Politik

15 September 2024   12:14 Diperbarui: 15 September 2024   12:26 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wacana mengenai akulturasi Islam dengan kebudayaan lokal di Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah, salah satunya ialah Maulid Nabi Muhammad, yang dalam beberapa hari ke depan akan dirayakan oleh kaum Muslim di berbagai belaha dunia, salah satunya Indonesia. Maulid Nabi Muhammad ini sudah menjadi fenomena sosial-religius yang melekat di beberapa daerah Indonesia. Secara spesifik perayaan Maulid Nabi Muhammad ini dirayakan dengan cara yang berbeda-beda di tiap daerah, namun secara umum ada beberapa bagian yang sama, seperti perayaan ini dilaksanakan di ruang publik, ada hidangan makanan, mereka akan membaca Barzanji dan berdoa, mengundang tokoh agama Islam setempat untuk berceramah mengenai kehidupan Nabi Muhammad, lalu menyantap hidangan makanan yang telah disajikan.

Tentu saja, setiap mendekati hari Maulid Nabi Muhammad biasanya muncul suatu perdebatan mengenai perayaan ini dalam wilayah para tokoh agama, para akademisi, dan orang-orang lainnya. Entah debat itu terjadi di ruang publik, media sosial, dan yang lainnya. Perdebatan ini biasanya mengacu pada satu pertanyaan "apakah perayaan Maulid Nabi Muhammad ini sesuai dengan ajaran Islam atau tidak?". Jawaban yang muncul untuk pertanyaan tadi ialah; Maulid adalah sunah, terbukti dengan banyaknya perayaan dan peringatan yang diselenggarakan oleh kamu Muslim. Sebaliknya, sebagian orang yang tidak setuju dengan Maulid hanya merayakannya dengan menyelenggarakan ceramah-ceramah keagamaan. Alasan utama yang dikemukakan oleh bagian yang menyatakan Maulid sebagai bid'ah adalah karena Nabi Muhammad tidak pernah melakukan dan mencontohkannya baik di masa hidup beliau maupun di masa para sahabat. Terlepas dari apakah ini bid'ah atau bukan, sunnah atau bukan, saya pikir penting juga untuk memahami semangat perjuangan dan semangat menyebarkan ajaran Islam oleh Nabi Muhammad juga kita mesti meneladani kehidupan beliau dan ajaran Islam yang dibawanya ke dalam kehidupan, selaku kaum Muslim.

Sudah banyak diskursus mengenai perayaan Maulid Nabi Muhammad, yang secara umum menjelaskan konsep yang sama, yakni sebagai bentuk kecintaan kaum Muslim terhadap Nabi Muhammad yang diwujudkan dalam bentuk praktik atau ritual lokal yang berdimensi keagamaan.  Bagaimanapun perayaan Maulid Nabi Muhammad tidak hanya sekedar ekspresi kecintaan saja, karena perayaan ini merupakan konstruksi budaya yang melekat pada kaum Muslim di Indonesia, saya berpendapat perayaan ini juga sebagai ekspresi keagamaan dan media politik. Perlu digarisbawahi juga, bahwa tulisan ini hanyalah sekedar esai bebas dan opini saya.

Budaya dan Ekspresi Beragama

Islam dan kebudayaan lokal agak susah untuk dipisahkan pada saat ini karena sudah berkaitan satu sama lain, entah itu secara nilai, sistem sosial, ataupun praktik sehari-hari. Banyak dimensi perayaan Maulid Maulid Nabi Muhammad yang merupakan konstruksi budaya yang terkait dengan spiritualitas keagamaan. Seperti dalam wilayah ekonomi, di beberapa daerah persiapan perayaan Maulid Maulid Nabi Muhammad sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum hari itu tiba, yang secara otomatis keperluan-keperluan yang dibutuhkannya juga sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Namun sekarang ini, keperluan-keperluan itu sudah bisa didapatkan secara instan. Anggapan bahwa Maulid Nabi Muhammad dapat menjadi stimulus bagi perekonomian masyarakat diragukan jika melihat kondisi saat ini. Maulid tidak lagi dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaannya, tetapi setiap kali datang, semua kebutuhan sudah tersedia di pasaran.

Lalu, dalam wilayah spiritualitas, Maulid Nabi Muhammad juga merupakan ekspresi beragama, biasanya ada empat hal yang menonjol dalam perayaannya, yakni dzikir, shalawat, ceramah keagamaan, dan doa bersama. Kitab Barzanji, yang ditulis oleh Syekh Ja'far al-Barzanji, adalah salah satu teks yang paling populer dibaca selama perayaan Maulid Nabi. Kitab ini terdiri dari pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad dan menggambarkan berbagai aspek kehidupan dan keutamaan beliau. Pembacaan Barzanji sering dilakukan dengan penuh khidmat dan diiringi dengan gerakan-gerakan yang sesuai, seperti berdiri atau duduk, untuk menunjukkan rasa hormat dan cinta kepada Nabi Muhammad. Selain dzikir dan shalawat, ada juga ceramah keagamaan, yang biasanya membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad. Beberapa penceramah menyisipkan guyonan dan cerita lucu agar para hadirin tertawa dan tidak mengantuk. Penceramah juga kerap mengaitkannya dengan kejadian-kejadian di masyarakat dan memberikan pengarahan dengan mengutip hadis Nabi dan ayat-ayat Al-Qur'an. Maulid Nabi Muhammad juga mengadakan Doa Bersama. Doa ini bisa berupa permohonan untuk kebaikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia secara umum.

Media Politik

Mengingat di Indonesia yang saat ini juga terdapat momentum Pilkada, saya meyakini bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad yang akan datang nanti--- kemungkinan besar--- terhubung dengan wilayah politik. Meskipun sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena dalam sejarahnya, Maulid Nabi Muhammad memang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang dalam wilayah politik dengan makna yang berbeda. Di masa lalu, penguasa dan elit politik acap kali menggunakan perayaan ini sebagai cara untuk memperkuat legitimasi mereka, menunjukkan komitmen terhadap agama, dan mempererat hubungan dengan rakyat, yang mana saya meyakini, dengan cara yang sama, di masa kini, perayaan Maulid dalam konteks Pilkada juga dapat menjadi media untuk menampilkan diri dan berinteraksi dengan konstituen.

Saya meyakini bahwa Maulid Nabi Muhammad nanti akan menjadi media politik bagi sejumlah aktor politik untuk membangun jaringan sosial dengan kepentingan politik melalui berbagai acara perayaan Maulid, dan tentu saja pasti ada beberapa bagian Maulid yang nantinya secara tersirat memperlihatkan aspek tersebut. Alasan lainnya selain faktor historis yakni karena, perayaan Maulid sering kali dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh politik dan calon kepala daerah. Perayaan Maulid Nabi Muhammad ini menjadi kesempatan strategis bagi para aktor politik untuk membangun dan memperkuat jaringan sosial mereka. Dengan berpartisipasi dalam atau mensponsori perayaan Maulid Nabi Muhammad, politisi dapat meningkatkan visibilitas mereka di mata masyarakat, menunjukkan kepedulian terhadap nilai-nilai agama, serta menjalin hubungan dengan pemilih potensial. Keterlibatan politisi dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap mereka. Jika dipandang positif, ini dapat meningkatkan dukungan terhadap mereka. Sebaliknya, jika dipandang sebagai upaya manipulasi atau politisasi acara keagamaan, ini bisa menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Juga, ada kemungkinan selama perayaan Maulid Nabi Muhammad, bisa jadi terdapat pesan-pesan politik yang disampaikan secara tersirat. Misalnya, ceramah atau khotbah yang disampaikan dapat mencerminkan pandangan politik atau dukungan tertentu, meskipun disampaikan dalam konteks yang lebih umum atau tidak langsung. Ini dapat berupa penggambaran nilai-nilai tertentu yang sejalan dengan agenda politik calon atau partai politik tertentu.

Jadi...

Sebagai penutup, perayaan Maulid Nabi Muhammad di Indonesia merupakan fenomena sosial-religius yang kaya akan dimensi kultural, spiritual, dan politik. Maulid Nabi Muhammad, yang dirayakan dengan cara yang beragam di berbagai daerah, merupakan ekspresi kecintaan umat Muslim terhadap Nabi Muhammad. Aktivitas utama dalam perayaan ini meliputi pembacaan Barzanji, dzikir, shalawat, ceramah keagamaan, dan doa bersama, yang semua itu menggambarkan pengamalan spiritualitas dan nilai-nilai keagamaan. Namun, perayaan Maulid juga tidak terlepas dari aspek politik, terutama dalam konteks Pilkada. Momen perayaan ini sering dimanfaatkan oleh politisi untuk membangun jaringan sosial dan meningkatkan visibilitas mereka di mata publik. Keterlibatan politisi dapat mempengaruhi persepsi publik, baik dalam bentuk dukungan positif maupun reaksi negatif jika dianggap sebagai politisasi acara keagamaan. Selain itu, perayaan Maulid juga dapat mencerminkan konstruksi budaya yang melekat pada kaum Muslim di Indonesia. Tradisi dan praktik yang berkembang menunjukkan integrasi antara Islam dan kebudayaan lokal, yang tercermin dalam persiapan, penyelenggaraan, dan partisipasi dalam acara tersebut. Diskursus mengenai apakah Maulid adalah bid'ah atau sunah terus berlanjut, namun penting untuk memahami bahwa perayaan ini bukan hanya sekadar ekspresi kecintaan, tetapi juga sebagai media untuk menampilkan diri, membangun hubungan sosial, dan dalam beberapa kasus, mendukung kepentingan politik. Sebagai esai bebas, tulisan ini menggarisbawahi bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad, dengan segala dimensi yang ada, mencerminkan kompleksitas interaksi antara religiositas, budaya, dan politik di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun