Lada hitam dan lada putih adalah dua bumbu dapur yang sering digunakan dalam berbagai masakan, namun tidak banyak yang mengetahui perbedaan mendasar antara keduanya. Di dunia kuliner, keduanya memiliki karakteristik unik yang membuatnya lebih cocok untuk jenis hidangan tertentu. Dalam The History of Sumatra yang ditulis oleh William Marsden, lada memiliki tempat yang penting sebagai komoditas perdagangan dan bahan rempah-rempah yang sangat berharga pada masanya. Artikel ini akan membahas perbedaan antara lada hitam dan lada putih, pandangan Marsden mengenai lada, serta bagaimana preferensi lada berkembang dalam dunia kuliner.
Perbedaan Lada Hitam dan Lada Putih
Lada hitam dan lada putih berasal dari tanaman yang sama, yaitu Piper nigrum, namun proses pengolahannya yang membuat mereka berbeda. Lada hitam diperoleh dari buah lada yang dipanen sebelum matang, lalu dikeringkan hingga kulit luarnya mengerut dan menghitam. Proses pengeringan ini menghasilkan rasa pedas yang kuat dan aroma yang tajam. Sebaliknya, lada putih berasal dari buah lada yang sudah matang, kemudian direndam dalam air untuk melunakkan kulitnya, sehingga yang tersisa hanya bijinya. Rasa lada putih lebih halus dan tidak sekuat lada hitam.
Karakteristik dan Penggunaan dalam Kuliner
Secara umum, lada hitam sering digunakan dalam masakan yang membutuhkan bumbu yang lebih kuat, seperti steak, kari, atau sup berat. Lada hitam juga dikenal karena memberikan sedikit rasa pahit dan pedas yang menyegarkan. Di sisi lain, lada putih lebih cocok digunakan dalam hidangan yang membutuhkan sentuhan pedas tetapi dengan profil rasa yang lebih halus, seperti sup krim, saus putih, atau masakan Asia seperti masakan Cina.
Dalam kuliner Asia Tenggara, lada putih lebih banyak digunakan karena memberikan rasa yang lebih ringan dan tidak mendominasi rasa hidangan utama. Sementara di Eropa, lada hitam lebih populer karena cita rasanya yang lebih kuat cocok untuk berbagai jenis hidangan Barat.
Pandangan William Marsden Mengenai Lada
William Marsden, seorang penulis dan sejarawan yang mendalami Sumatra pada abad ke-18, mencatat pentingnya lada dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah Sumatra. Dalam The History of Sumatra, ia menjelaskan bagaimana lada menjadi komoditas utama yang diperdagangkan di kawasan tersebut, terutama di kalangan pedagang Eropa dan Asia. Marsden mengamati bahwa lada hitam memiliki nilai yang lebih tinggi di pasar global, karena permintaan yang besar dari negara-negara Barat.
Menurut Marsden, tanaman lada tumbuh subur di berbagai wilayah Sumatra, khususnya di daerah pesisir yang dekat dengan pelabuhan. "The pepper plant," tulisnya, "requires attention and care to produce the finest quality of black pepper, which is highly demanded in Europe" (The History of Sumatra). Lada hitam menjadi simbol kekayaan dan kemakmuran, terutama di kalangan pedagang yang menguasai jalur rempah.
Preferensi Lada dalam Kuliner: Hitam vs Putih
Preferensi penggunaan lada dalam kuliner sering kali tergantung pada budaya dan kebiasaan setempat. Di Eropa, lada hitam menjadi pilihan utama karena cita rasa yang kuat dan kemampuannya meningkatkan rasa hidangan berat seperti daging panggang atau saus kaya rempah. Di banyak negara Barat, lada hitam tidak hanya dianggap sebagai bumbu, tetapi juga sebagai elemen yang bisa meningkatkan kompleksitas rasa hidangan.
Sebaliknya, di Asia, khususnya di Cina dan Indonesia, lada putih lebih disukai karena keserasiannya dengan hidangan yang lebih ringan dan berkuah. Penggunaan lada putih dalam masakan seperti sup ikan, tumisan, dan saus lebih umum karena rasa pedasnya tidak terlalu tajam, sehingga tidak menutupi rasa asli bahan-bahan lain dalam hidangan. Lada putih juga sering digunakan dalam masakan tradisional Asia Tenggara yang berfokus pada keseimbangan rasa.
Lada hitam dan lada putih, meskipun berasal dari tanaman yang sama, menawarkan pengalaman rasa yang berbeda dalam dunia kuliner. Lada hitam dengan rasa pedas yang lebih kuat cocok untuk hidangan berat, sementara lada putih dengan rasa yang lebih halus lebih sering digunakan dalam masakan yang lebih ringan. Marsden, dalam The History of Sumatra, menyoroti pentingnya lada sebagai komoditas ekonomi utama yang sangat berharga di masa lalu, terutama lada hitam. Hingga saat ini, preferensi lada dalam masakan terus berkembang sesuai dengan tren kuliner dan kebiasaan budaya, menunjukkan bahwa rempah-rempah ini tetap relevan dan diminati di seluruh dunia.
Lada, baik hitam maupun putih, adalah contoh bagaimana bahan alami yang sederhana bisa memiliki dampak besar, tidak hanya dalam dunia kuliner, tetapi juga dalam sejarah perdagangan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H