Di antara contoh kaidah ushul yang dimaksud adalah:
1.Perintah yang bersifat mutlak menunjukkan wajib ( ).
2.Larangan yang bersifat mutlak menunjukkan haram ( ).
3.Al-Quran adalah hujjah dalam menjelaskan hukum ( ).
Dari perspektif lain, kaidah ushul juga disebut dengan dalil global ( ), yaitu dalil yang tidak berkaitan dengan sesuatu yang parsial. Semua ayat dan hadis yang datang dalam bentuk perintah yang mutlak masuk dalam kaidah pertama, apapun perbuatan yang diperintahkan.
Adapun yang dimaksud dengan dalil terperinci ( ) adalah dalil yang berkaitan dengan sesuatu yang parsial. Contohnya firman Allah Swt.
...
"Laksanakanlah salat..." (QS. Al-Baqarah 2:43)
Ayat ini khusus membahas tentang salat dan tidak memiliki kaitan dengan ibadah selain salat. Olehnya disebutlah dalil yang seperti ini dengan dalil terperinci, yaitu dalil yang khusus berkaitan dengan sesuatu yang parsial dan tidak memiliki kaitan dengan hal lain.
Memahami Ushul Fikih adalah hal urgen. Sebab jika hanya berpegang pada dalil terperinci saja tidaklah cukup. Misalnya jika kita membaca firman Allah Swt.
...
"Tunaikanlah zakat..." (QS. Al-Baqarah 2: 43)
Kita mengetahui bahwa ayat ini berisi tentang perintah menunaikan zakat. Akan tetapi kita tidak mengetahui apakah perintah menunaikan zakat ini bersifat wajib, sunnah, atau pilihan? Hal ini karena dalil-dalil yang menunjukkan perintah ada yang bersifat wajib, ada yang sunnah, serta ada yang menunjukkan kebolehan antara mengerjakan atau tidak. Olehnya, Ushul Fikih memberitahukan kita bahwa hakikat perintah yang mutlak menunjukkan wajib, dan tidak boleh dimaknai selain wajib kecuali jika ada indikasi yang memalingkan perintah itu dari makna hakikinya.
Kita bisa membuat silogisme kategoris untuk sampai pada konklusi bahwa salat adalah wajib.
*Premis minor: lafal dalam firman Allah Swt. adalah perintah (ini adalah dalil terperinci).
*Premis mayor: semua perintah menunjukkan wajib (ini adalah dalil global).
*Konklusi: lafal dalam firman Allah Swt. menunjukkan wajibnya salat.
Contoh di atas dihadirkan sebagai pendekatan bagaimana bentuk penerapan Ushul Fikih dalam merumuskan hukum. Tentu saja ketika kita lebih lanjut membahas Ushul Fikih, akan kita dapati bahwa para ulama memiliki metode dan kaidah tersendiri, yang menyebabkan berbedanya hukum yang dihasilkan. Pembahasan tersebut akan dimuat di tulisan-tulisan selanjutnya.
Sekiranya Ushul Fikih tidak diterapkan, maka tidak ada seorang pun yang bisa merumuskan hukum syarak dari dalil terperinci. Orang-orang yang berani berpendapat tetapi tidak memiliki kecakapan dalam Ushul Fikih berpeluang besar untuk menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan atau mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan. Munculnya kelompok yang berani menghujat para ulama terdahulu disebabkan karena ketidaktahuan mereka mengenai tata cara merumuskan hukum syarak. Dan sekiranya mereka memiliki pengetahuan bahwa para ulama senantiasa menyatakan pendapatnya dengan berlandaskan dalil, maka mereka tidak akan menghabiskan energi dan waktu untuk mengajak orang-orang kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis.