Bagi sebagian blogger, mengupdate blog dengan konten adalah hobi. Bermutu atau tidak, asli atau mengutip, panjang atau ringkas, tidak lebih sebagai tempat menumpahkan ide, pujian, hujatan atau sekedar menunjukkan eksistensi di dunia maya. Bagi sebagian yang lain, blogger adalah profesi sehingga aktifitas menulis menjadi sumber penghasilan. Entah sebagai citizen reporter, memasarkan produk atau sebagai publisher.
Membuat tulisan di blog adalah esensi dari menjadi seorang blogger. Anggap saja di titik ini kita sependapat.
Saya berada di posisi pertama: menulis sebagai hobi. Menulis menjadi salah satu kegiatan favorit saya sejak saya mulai bisa menulis. Apa saja yang terjadi atau terlintas di pikiran biasanya akan saya tulis. Di halaman belakang buku tulis matematika, di bagian catatan kaki buku sejarah, di dinding wc sekolah, di buku diary—iya, saya punya diary—bahkan di buku absensi milik guru wakil kelas. Dan semenjak saya mengenal blog, di sinilah saya sekarang.
Saya mengalami kronologi evolusi bahasa. Bahwa bahasa berevolusi dari lisan ke tulisan. Budaya bergerak dari “orality” ke “literacy”. Transisi gaya menulis terus saya alami. Gaya menulis, penggunaan tanda baca, penyusunan kalimat, etika menulis, formalitas tulisan bahkan penggunaan kata ganti juga mengalami beberapa kali perubahan. Dulu saya menggunakan nama sendiri sebagai kata ganti orang pertama. Saya akan memilih menulis “hari ini Ucha sakit” daripada “hari ini saya sakit”. Dan seiring waktu dan pertimbangan kepantasan, kata ganti ini juga bertransisi: aku, gue, saya. Semua masih bisa saya telusuri dengan membaca kembali tulisan saya di catatan kaki beberapa buku sekolah yang masih tersimpan di gudang, di belakang sampul buku matematika, di buku diary dan di blog ini. Inilah kenapa saya membiarkan arsip tulisan saya tetap seperti saat tulisan itu dibuat.
Dulu ketika ingin menulis saya hanya “menulis” seperti biasa. Saya menulis secara sporadis tanpa peduli bagaimana hasil tulisan saya jika dibaca ulang. Saya tidak peduli pada pembaca. Saya menulis tanpa intonasi. Saya bisa menghasilkan beberapa tulisan di blog dalam sehari dengan topik yang sama. Saya bahkan menulis sesuatu hanya karena mendengar suara sendawa di rumah makan.
Justru di sinilah letak masalahnya. Semakin saya mengerti bagaimana cara menulis yang baik dan benar semakin takut rasanya untuk menulis. Ada beban setiap kali saya akan mulai menulis sesuatu. Ide yang terlintas buyar begitu saja tepat ketika saya akan mulai menulis kalimat pertama. Seakan-akan tulisan saya akan dibaca semua orang begitu saya menekan tombol publish. Sindrom penulis putus asa.
Penulis? Saya penulis? Menurut Wikipedia, saya seharusnya tidak termasuk penulis. Tapi karena Penulis adalah sebutan bagi orang yang melakukan pekerjaan menulis, maka saya anggap diri saya sebagai penulis.
penulis adalah pengarang, penggubah, prosais, pujangga, sastrawan. Berpadan kata pula dengan pencatat, carik (Jawa), dabir (arkais), juru tulis, katib (Arab), kerani, klerek (arkais), panitera, sekretaris, setia usaha. Pelukis dan penggambar kadangkala juga dimasukkan sebagai padan kata penulis (Wikipedia).
Sampai akhirnya saya tidak sengaja membaca tulisan tentang Why I Blog? Bahwa menulis itu adalah ekspresi. Dan dengan apa yang saya alami, saya ternyata terjebak dalam kondisi takut berkespresi. Saya takut berekspresi. Sederhananya, saya takut berekspresi.
Dan akhirnya saya pun menulis lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H