Mohon tunggu...
Ryan Ari Rap
Ryan Ari Rap Mohon Tunggu... Penulis - Petani dan Penikmat Kopi, dari Desa untuk Indonesia

Baca. Baca. Baca. Menulis. Menulis. Menulis. Seorang pemuda dari desa nun jauh di kaki perbukitan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, berkecimpung di bidang pemeberdayaan masyarakat dan dunia digital marketing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sayang, Kenapa Kita Tidak Berdamai?

7 Oktober 2017   13:53 Diperbarui: 7 Oktober 2017   14:46 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Pinterst Edit Pribadi

Ini oktober ke enam yang aku nikmati di kota ini. Segala kenangan dan tenang mulai sedikit banyak terusik. Aku akan betah berlama-lama di kota ini, sungguhpun setiap sudutnya selalu memutar kenangan masalalu yang aku tak tahu mengapa sulit sekali ia aku abaikan. Apakah ini pertanda aku mulai lelah atas sikapku yang keras selepas kepergianmu? Apakah ini satu seruan agar aku bergegas mengemasi barang-barangku dan pergi dari kota ini? Aku tidak tahu. Tidak ada kebosanan, tapi Oktober selalu begitu, selalu saja sama, juga dengan hujan yang datang lebih awal.

Aku sudah memaksa kembali diam empat tahun lamanya. Tapi kali ini aku ingin bersuara, berkisah soal apa saja yang pernah kita lukis dalam setiap tarian panjang kehidupan. Apa kau masih setia? Dalam kenangan? Apa kau masih seperti dulu itu, suka bicara, tak mau mengalah perang suara, menutup telinga dari setiap kata yang aku ucap, hingga aku lelah. Apakah masih begitu? Jika iya, mungkin itu yang membuatku rindu.

Satu penyesalan yang masih membekas dan terus saja hadir adalah soal aku yang tak mampu menyelamatkanmu. Sudah aku tulis dalam kumpulan puisiku, yang aku tahu ia tak pernah sampai di beranda rumahmu walau lelakimu memesan dua buku itu dari sahabatmu. Sedemikian sulitkah untuk mencerna bahwa hidup tetap berlanjut adanya? Tanpa kau perlu menutup rapat pagar rumahmu, mengunci setiap jendela dan pintu. Lelakimu sering kali bercerita kepadaku, aku terluka sebab cerita yang ia bawa.

Apakah begitu menyakitkan keputusan yang telah kita sepakati bersama? Bukankah aku hanya menyetujui segala inginmu? Bukankah aku begitu iklas melepasmu dengan lelakimu yang jauh lebih dari pengamatanku. Kau jangan sekali menyesal, jangan merasa sakit, sebab setiap sesal dan sakitmu itu melukai lelakimu. Seperti halnya aku yang tak mampu beranjak pergi dari kota ini untuk kemudian pulang dan menetap di rumah ibuku yang berjarak tak lebih sepandang mata dari beranda rumahmu.

Apa yang salah dari perpisahan yang penuh suka cita dalam air mata? Bukankah sudah cukup dewasa kala itu kita berbicara? Seperti yang masih aku ingat percakapan di bulan Oktober saat hujan urung jatuh ke bumi:

Mungkin kita tak lagi bisa bersama lagi, aku sudah lelah dengan semua ini. Kau kira aku diam sebab apa? Sebab aku ingin banyak mendengar setiap kata yang kamu ucap, mencoba mencerna dan memahami. Tapi kamu? Kamu kemudian abai? Aku hanya ingin menjalani seperti apa yang aku percaya. Jika kamu tidak lagi percaya, mungkin kita sepakat bahwa ada awal ada akhir. Dan kau tunjukan padaku satu cicin yang lain di jari manismu? Begitukah cara mengakhiri yang kau ingin. Jika iya, aku hanya mampu marah dalam doa, pergilah dan biarkan aku tinggal sementara di hatimu sampai aku bisa pergi dengan sendirinya.

Sudah empat tahun berlalu, dan kita tidak menemukan kata sepakat untuk berdamai dengan semua itu? Bukankah aku selalu sepakat denganmu, bahkan untuk merelakanmu pun aku sepakat. Kau sudah tak lagi ada di hatiku, sungguhpun segala cerita masih aku ingat wanginya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun