"Kalau mama menolak tawaran itu bagaimana jika mama harus diberhentikan?"
"Bukankah setiap rejeki sudah Allah tanggung. Rejeki itu bukan dari tempat kerja, bukan dari kantor, tetapi Allah yang menurunkan dengan perantara yang dikehendaki-Nya." Anggie memandang mamanya lekat.
"Mama percaya itu, kan?"
Demi Tuhan, Â kalimat demi kalimat yang terucap dari mulut Anggie seolah tamparan bagi Lintang. Selama ini ia begitu berambisi mengejar karier, dan jabatan demi pundi-pundi tabungannya, bahkan sampai mengabaikan waktu bersama anak-anak, seakan takut tak bisa mencukupi. Lintang menghela napas panjang, lalu berdiri.
"Mama istirahat dulu ya, sayang," ujarnya. Anggie ikut berdiri, lalu memeluk mamanya
"Apapun nanti keputusan mama, Anggie akan dukung."
"Apapun yang bisa bikin mama bahagia."
"Anggie sayang mama." Dikecupnya pipi Lintang kiri dan kanan.
"Mama juga sayang Anggie, kalian berdua Anggie dan Bobby adalah anak-anak hebat." Lintang memeluk Anggie, Â menepuk punggungnya seolah menyatukan perasaan mereka.
Lintang masuk ke kamar dan menutup pintu pelahan, ia duduk di tepi tempat tidur. Diambilnya selembar kertas yang sebagian hurufnya kabur oleh tetesan air matanya tadi siang.
Dibacanya huruf demi huruf, diejanya kalimat demi kalimat dengan seksama, lalu Lintang memejamkan mata. Mengatur napas, hingga sesaat kemudian ia menghela napas berat. Begitu banyak tamparan yang ia terima hari ini, email Remund, percakapannya dengan Anggie, hati Lintang semakin mantap.