"Karena Anggie ingin Allah menjaga Anggie, maka Anggie akan mematuhi semua perintah Allah. Menutup aurat itu perintah-Nya kan, Ma?"
Lintang merasa dadanya sesak, tak menyangka, gadis kecilnya yang tomboy bisa berkata seperti itu. Bahkan ia tak pernah mengajari, tak pernah memberi petuah, lalu tiba-tiba Anggie kecilnya telah menjadi sosok remaja yang shalihah. Tak terasa air matanya kembali jatuh. Betapa selama ini ia telah kehilangan begitu banyak waktu pengasuhan hingga tak mengenali anak-anaknya sendiri. Bahu Lintang terguncang oleh isaknya, Anggie bangkit memeluk mamanya.
"Mama, maukah mama juga berhijab? Menutup aurat agar tidak menjadi fitnah bagi laki-laki? Apalagi dengan status mama seperti ini." Anggie membelai rambut Lintang yang panjang terurai, membuat air mata Lintang semakin membanjir.
"Iya sayang," ucap Lintang di sela tangisnya. Terlalu banyak lembaran yang hilang entah tercecer di mana, hati Lintang terlalu perih untuk bisa menemukan bahkan sekedar remahan cerita yang ia lewatkan perannya.
"Oh ya, Ma. Apakah mama jadi pindah ke Jakarta lagi?"
Deggg...
Lagi-lagi Lintang dibuat terkejut, darimana Anggie tahu sedangkan ia justru baru mau membahasnya hari ini. Sitha..., ya.... Pasti Sitha menceritakan pada Anggie.
"Bagaimana pendapatmu?" Lintang balik bertanya.
"Mama, apapun jika itu bisa membuat mama bahagia, Anggie pasti dukung," jawab Anggie sambil membelai pipi mamanya, menghapus butiran air mata dengan jemari tangannya.
"Terima kasih, sayang." Lintang memeluk Anggie, Â lalu sejenak kemudian Lintang menatap Anggie dengan tatapan serius.
"Sebenarnya berat buat mama ninggalin kalian. Mama tidak ingin jauh dari kalian, selama ini mama sudah banyak sekali meninggalkan kalian demi mengejar karier. Mama banyak mengabaikan kalian, demi sebuah jabatan. Tapi mama juga bingung seandainya tawaran itu tidak mama terima, pasti ada konsekwensi yang harus mama terima dari perusahaan." Lintang memandang Anggie seolah minta pertimbangan.