Air mata lintang deras mengalir, tetesnya membasahi selembar kertas yang ditanda tanganinya seminggu lalu. 'Allah... apakah ini teguran-Mu? Kau pertemukan aku dengan kejadian demi kejadian yang membuatku merasa tertampar. Betapa selama ini aku telah banyak salah langkah. Ego..., harga diri..., gengsi..., sementara hal lain yang lebih penting aku abaikan, anak-anakku..., ibuku...' tangis Lintang pecah, ia menelungkupkan kepalanya, bahunya berguncang keras manakala ingat, ia lebih mementingkan rapat di Bandung ketimbang ibunya yang waktu itu sedang kritis, dan ketika pulang menemukan ibunya sudah terbungkus kain kafan tanpa sempat merawat untuk terakhir kalinya jasad tubuh yang pernah merengkuh, membelai dan menghidupinya dengan tetesan keringat dan air susunya.
Seorang Remund, laki-laki yang memiliki kehidupan kelam, bisa demikian besar cintanya pada ibunya.., lalu bagaimana dengan dirinya? Lintang merasa dadanya sesak, mendadak kepalanya sakit, tak lagi fokus pada tugas yang masih menunggu sentuhan tangannya. Ia berdiri, diraihnya selembar kertas yang sebagian tulisannya kabur, basah oleh air matanya.
Lintang melangkah keluar ruangan. Menoleh sejenak pada seorang yang duduk di seberang ruangannya.
"Ren, tolong sampaikan pada Pak Arif, aku kurang enak badan," ujarnya pada Renata, sekretaris baru yang menggantikan Sitha.
"Baik, bu." Renata mengangguk tanpa banyak bertanya.
Lintang bergegas keluar kantor, sambil menyembunyikan air matanya, ia berjalan menuju mobilnya.
Lintang mengarahkan mobilnya menuju pantai. Baginya sejauh apa ia pergi, deburan ombak selalu memanggil  hatinya untuk kembali, menumpahkan resah dan gelisah yang membongkah dalam pikirannya.
Lintang melepas sepatunya di mobil, dan berlari tanpa peduli pasir dan remahan kulit kerang yang menusuk perih di telapak kakinya, saat ini hatinya lebih perih. Walau Lintang tak tahu untuk alasan apa ia harus merasakan perih yang seakan menyayat-nyayat. Air matanya tak mampu ia tahan lagi, Â berdesakan keluar dari palungnya.
Lintang berjalan sepanjang pantai, tanpa alas membiarkan sensasi pasir dan riak kecil ombak menggelitik bagian telapak kakinya, menikmati  hangatnya mentari yang bergeser menuju ke barat .Â
Lintang memandang kemilau di batas cakrawala dengan mata menyipit. Membiarkan lembutnya cahaya jingga membelai tiap lekuk wajahnya yang basah oleh air mata.
Angin mengibarkan rambutnya yang panjang dan hitam menebarkan aroma wangi yang khas. Lintang memenuhi paru-parunya dengan angin laut, seolah dengan cara itu ia hendak menggusur semua kecamuk yang betah menyesak di dadanya.