Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seikat Edelweis dari Gunung Lawu

22 Agustus 2022   12:31 Diperbarui: 22 Agustus 2022   12:35 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami hanya berhenti sekitar 15 menit di warung Mbok Yem. Namun, sepanjang perjalanan menuju puncak perasaanku tidak enak. Selain hawa dingin yang menusuk tulang, aku mencium aroma wangi yang belum pernah kukenali sebelumnya. Berulang kali aku mencium Edelweis di tanganku, tapi wanginya tidak sama. Bulu kudukku kian meremang.

Meski hujan, tapi di puncak tetap dipenuhi pendaki yang nekad seperti kami. Pemandangan dari puncak gunung memang selalu mempesona. Aku menghidu udara sepuasnya, merasakan sensasi udara di ketinggian lebih dari 3000 meter.

Namun, tiba-tiba aku tersadar bahwa aku terpisah dari rombongan, tiba di puncak sendirian. Aku mengingat-ingat, sepertinya aku terakhir berbicara dengan Wahyu ketika meninggalkan warung Mbok Yem. Bertemu dengan beberapa pendaki lain membuatku tak sadar bahwa aku tidak bersama rombonganku lagi.

Aku celingukan mencari-cari sosok teman seperjalanku, tapi tak tampak di antara pendaki yang baru tiba di puncak.

"Maaf, Mas, liat temen saya nggak?" tanyaku pada seorang pendaki yang baru tiba.

"Teman yang mana? Bukankah dari tadi Mbak ini sendirian?" jawab laki-laki dengan jaket kulit coklat.

"Saya tadi berempat, Mas," bantahku. Laki-laki itu mengerutkan alis. Aku menatap tak mengerti.

"Mbak ini tadi naik dari Cemoro Sewu, kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.

"Saya liat Mbak sendirian sejak tadi, makanya saya heran ... kok Mbak ini sendirian hujan-hujan," ujar laki-laki itu lagi. Mendengar penjelasan laki-laki yang mengaku bernama Bimo tersebut aku kebingungan. Bulu kudukku makin meremang, dingin makin menusuk tulang.

"Saya hampir tiap minggu memandu para pendaki di sini, Mbak, menggantikan ayah saya," papar Bimo.

"Dulu ayah saya menemukan tiga pendaki yang meninggal di dekat padang Edelweis. Dua laki-laki dan seorang perempuan, konon seorang laki-laki yang bernama Wahyu nekad memetik Edelweis untuk kekasihnya. Karena posisi bunga itu agak menjorok ke jurang, dia terpeleset dan jatuh ke jurang. Kedua temannya yang berusaha menolong justru ikut tertarik ke bawah dan mayatnya tidak pernah diketemukan. Sejak itulah ayah saya selalu memandu para pendaki, memastikan tidak ada yang memetik Edelweis agar kejadian tragis itu tidak terulang lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun