Ada kalimat yang menarik, yang patutkita cermati saat membaca pusi karya Chairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi ini:
Karawang-Bekasi ~ Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawaKami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung SjahrirKami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-BekasiChairil Anwar (1948)
Pada bait yang saya tebalkan tersebut, ada tiga nama bapak republik yang diguratkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya tersebut: Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Padahal, jika kita menilik sejarah bangsa Indonesia, ada nama Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Bahkan Muhammad Yamin menjulukinya sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Pada masa bertugas sebagai agen komintern di Tiongkok, ia menulis sebuah brosur panjang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), yang kemudian pada desember 1925 di Filipina ia mencetaknya secara massal, dan kemudian tulisannya inimenyebar ke jaringan pelajardi Indonesia.
Bahkan saat itu bukunya ini menjadi buku pegangan para pemimpin perjuangan kemerdekaan di Tanah Air. Soekarno, kata Sayuti Melik, senantiasa membawa dan membaca buku tersebut. Dan bukan cuma Soekarno, Muhammad Yamin tersebut yang memuja Tan, menganggap ia tak ubahnya Bapak Bangsa amerika serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: tokoh yang merancang republik sebelum kemerdekaannya tercapai.(1)
Tan Malaka kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan Republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Namun, dalam pergerakan politiknya yang intens ini, justru ia terombang-ambing diantara permainan politik penguasa dan oportunisme politik yang menghingggapi sebagian besar pengikut Persatuan Perjuangan. Oleh pergolakan politik ini pula, berbagai lawan politik berusaha menjatuhkannya dari panggung politik yang baru saja dilakoninya. Atas tuduhan mengacau keadaan dan berbicara serta bertindak menggelisahkan, ia ditangkap pada 17 maret 1949.
Keluar dari penjara, ia masih berjuang melanjutkan pergerakannya, mendirikan Partai Murba. Namun partai bentukannya ini dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI, karena partainya ini ia bentuk setelah PKI tersingkir pasca Peristiwa Madiun, yaitu sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin. Dan adapun Tan Malaka dikenal sebagai pemimpin terkemuka PKI saat itu.
Sungguh miris memang, jalan cerita Bapak Republik ini, yang berjuang dalam pengasingan dengan memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan Revolusi Nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Adapun mengenai tidak disebutnya nama Tan Malaka dalam puisi Chairil Anwar itu tadi, ada indikasi dikarenakan pada 1948 itu adalah tahun dimana terjadinya peristiwa madiun tadi. Sehingga pada akhirnya, Tentara Republik Indonesia menangkap dan mengeksekusi matinya pada 21 Februari 1949, di desa Selopanggung, karena dituduh melawan Soekarno-Hatta.
Meskipun jasanya besar dalam keikutsertaan membidani kemerdekaan Indonesia, namun karena namanya terganjal pemberontakan PKI di madiun inilah mungkin yang menyebabkan sang Chairil Anwar berpikir ulang menyebutkan nama Tan Malaka dalam puisi legendarisnya.
Terlepas fakta itu semua, toh Soekarno pun pernah menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”, bahkan ia pernah berkata ”...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka,”. Dan meskipun begitu, ternyata hidupnya justru berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang ikut didirikannya sendiri.
Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H