Kasus video tidak senonoh di kalangan pelajar sudah menjadi hal lumrah saat ini. Seperti fenomena gunung es, skandal demi skandal mesum pelajar terungkap ke media.
Satu demi satu perilaku asusila yang dilakukan pelajar membuat berita yang cukup heboh. Kasus video mesum seorang siswa sebuah SMP di Jakarta beberapa saat lalu misalnya, dmana korban mengaku menuruti kemauan pelaku di bawah ancaman. Meskipun beberapa pihak sangat menyangsikan pengakuan korban tersebut, karena dalam adegannya tak ada raut ketakutan, justru seperti hal yang sudah biasa dilakukan. Dan beberapa hari lalu pula, berita seorang siswi di Jogja yang menyembunyikan bayinya yang baru lahir di dalam lemari.
Setiap hari sepertinya berita pelajar mesum, anak bayi dibuang, hingga kekasih yang hendak bunuh diri akibat diputus cinta, menjejali frekuensi berita kita. Setiap hari dari berbagai daerah, selalu ada. Namun, jika kita berpikir sejenak apa yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan sepertinya tidak terlihat. Yang ada, pemerintah hanya memberi solusi yang justru menghasilkan problem jangka panjang tak berkesudahan: menggencarkan alat kontrasepsi. Atau, dari sudut hukum, sekedar memberi ganjaran hukuman penjara. Tak ada upaya solusi visioner untuk membangun peradaban masa depan bangsa oleh pemerintah. Hanya sekedar jawaban pragmatis. Layaknya obat penenang yang diberikan pada patah tulang orang yang mengalami kecelakaan.
***
Masalah asusila generasi muda ini memang bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Ada peran-peran para orang tua yang mestindimintai pertanggungkawabannya. Meski kuncinya terletak pada itikad perbaikan bangsa pada pemerintah. Karena sejatinya pemerintah bukan sekedar Even Organizer raksasa / Manajer negara yang bertugas hanya membagi2 pos anggaran ke daerah, dan menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah lebih dari itu, punya tanggung jawab selayaknya orang tua terhadap anak-anak asuhnya. Seperti layaknya pejabat negara, yang tak ubahnya pemimpin bagi masyarakat di bawah.
Di satu sisi, ada peran besar yang bisa dilakukan para orang tua untuk menyelamatkan generasi muda bangsa. Menikahkan anak-anaknya sesegera mungkin! Tak peduli ia masih dalam bangku sekolah.
Nyeleneh sepertinya. Mana ada sekolah yang menerima siswanya dalam status telah bersuami/istri. Terlebih selama ini yang ada dalam frame berpikir para orang tua adalah, tidak mungkin membiarkan anaknya menikah pada usia muda. Mau makan apa kelak, mencari nafkah sendiri saja belum bisa, masih tergantung orang tuanya.
Ide konstruksi berpikirnya seperti ini:
-Berpacaran berpotensi sangat besar berzina. Jaman sekarang hampir nihil berpacaran tanpa menjurus perzinaan. Sedangkan Berzina itu sendiri haram.
-Tidak ada peraturan yang melarang menikah muda. Yang ada hanya program KB pemerintah yang menganjurkan menunda usia pernikahan. Sedangkan hukum menikah itu sendiri halal.
-Jika di kemudian hari ada kemungkinan terburuk, pasangan muda ini merasa tidak ada kecocokan, dan hendak bercerai, maka tidak masalah. Toh hukumnya sebatas makrus -meski sangat dibenci Allah Swt. Bandingkan besar mudaratnya, tentu lebih baik terkena perkara makruh dibanding mengambil jalan haram.
-Jika alasan para orang tua kelak pasangan muda ini hendak makan apa, belum bisa mandiri mencari nafkah, maka kenapa tidak disubsidi? Seperti selayaknya ketika mereka belum berpasangan, mereka disupervisi hingga mereka bisa mandiri.
Hal ini memang bukan perkara mudah, karena berkaitan dengan mendobrak frame berpikir orang tua dan masyarakat, yang pasti mengangggap tabu menikahkan anak-anaknya di usia pelajar. Namun kalau para orang tua mau menyadarinya, maka dampak ini akan berimbas pada perbaikan peradaban bangsa secara besar-besaran. Mesum dan pelacuran akan terdegradasi secara signifikan.
Selain itu, perlunya juga dukungan serius dari pemerintah. Perlu adanya payung peraturan yang mengijinkan pelajar berstatus menikah. Kenapa tidak? Toh pelarangan pelajar menikah di masa sekolah tidak berdasar kuat. Dibandingkan negeri ini harus hancur karena menderasnya kehancuran moral pemuda, bukankah lebih baik mengambil solusi konkrit seperti ini, meski harus dianggap tabu.
Menurut saya, jika tidak sekarang, mungkin ide seperti ini bisa diterapkan di masa-masa mendatang. Ketika para pemuda sadar saat ini telah menjadi orang tua - orang tua tercerahkan. Semoga. Wallahu a'lam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H