Oleh: Dr. Mudhofir Abdullah
Ada pendapat bahwa perolehan suara PDI-P yang hanya 19 persen pada Pileg 9 April kemarin disebabkan karena pemasaran Jokowi sebagai Capres terlambat. Pendapat ini mencontohkan tidak adanya iklan Jokowi di TV kecuali hanya beberapa hari menjelang hari H. Padahal capres-capres dari Golkar, Gerindra dan lain-lainnya gencar diiklankan di TV sejak 3-4 tahun yang lalu. Pendapat ini tentu perlu dicermati ulang.
Pertanyaan publik adalah mengapa keputusan PDI-P tentang Capres Jokowi terlambat? Mengapa yang diiklankan Ibu Megawati dan Puan Maharani? Pertanyaan ini memunculkan hipotesis bahwa PDI-P setengah hati mencapreskan Jokowi. Atau secara internal masih ada penolakan terhadap pencapresan Jokowi. Memang seperti diakui Puan dalam wawancara Tempo edisi Senin (14 April) secara tersirat menyatakan bahwa PDI-P harus memenuhi keinginan rakyat tentang pencalonan Jokowi dan keluarganya harus rela posisi ini tidak dari trahnya.
Pernyataan Puan sangat matang. Keluarga besar Soekarno telah berfikir melampaui kepentingan sempitnya. Ia cermat memerhatikan perasaan jiwa sebagian besar rakyat yang condong ke Jokowi menjadi capres PDI-P, meski keputusan ini dianggap terlambat. Namun, jangan berfikir negatif atas keterlambatan ini. Mungkin ada sebagian yang ragu tentang peluang Jokowi jika dicapreskan. Misalnya, apakah Jokowi akan terus bersinar pada pencapresan 9 Juli nanti? Apakah popularitas akan tetap bertahan dan apa prestasi-prestasi Jokowi yang nyata?
Sah-sah saja sedikit keraguan ini muncul mengingat bahwa kesenangan rakyat pada sosok dibatasi oleh momen-momen tertentu; ditentukan oleh publikasi media; dan dibatasi oleh waktu. Kata popularitas itu sendiri berarti bahwa ia bersifat sementara. Bahkan sangat sementara. Popularitas pada dasarnya adalah ketidakpopuleran yang tertunda. Kekalahan yang tertunda. Orang sebesar Soekarno dan Soeharto pun mencapai titik redup, meski tindakan-tindakannya besar dan berjasa untuk bangsa.
Karena itu, pencapresan Jokowi merupakan pertaruhan PDI-P. Jokowi harus memenangkan pertarungan ini agar kegagalan tiga kali PDI-P dalam kompetisi Pilpres tidak terulang. Meski dua kali PDI-P menang Pemilu, namun ini tidak menjamin bisa memuluskan capresnya. Ada banyak faktor yang bisa menghadangnya.
Karena sebuah pertaruhan, nampaknya kubu PDI-P melangkah dengan sangat hati-hati. Dan kehati-hatian itulah yang menyebabkan terlambat mengambil keputusan Jokowi sebagai capres definitif PDI-P. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena hanya orang yang berani bertaruh yang akan memenangkannya.
IAIN Surakarta, 17 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H