Pernyataan-pernyataannya di media sangat terjaga dan terukur. Tidak menggebu-gebu, tapi solid dan kuat isi pesannya. Masyarakat yang mendengarnya terasa memperoleh keadilan. Kasus pembinaan mahasiswi bercadar di UIN Yogyakarta yang nyaris membelah masyarakat kampus, LHS dengan kuat menyatakan agar hak-hak mahasiswi yang meyakininya dihargai. Beliau lebih memilih melihat kasus mahasiswi bercadar sebagai soal urusan akademik ketimbang keyakinan atau pun budaya. LHS mengambil jalan tengah. Di sini beliau sangat jeli dan terjaga.
Namun demikian, tak ada manusia sempurna. LHS dalam beberapa hal juga sangat ngotot bila itu menyangkut persatuan dan kesatuan bangsa. Di sini LHS terkadang "mengorbankan" kepentingan umat. Misalnya soal 'keberpihakan'---jika bisa disebut demikian pada kasus penodaan agama oleh Ahok. LHS---yang saya pahami---lebih memandang kasus Ahok sebagai akibat dari peran media sosial yang memviralkan secara tidak bijak. Karena kasus ini sensitif, pernyataan apapun bisa digiring kepada sudut yang negatif. Yang dipikirkan LHS adalah harga sebuah persatuan, sehingga kasus Ahok seharusnya bisa dilokalisir dan tidak dibawa-bawa ke ranah nasional.Â
Sebagaimana para tokoh agama lainnya, LHS sangat menyesalkan statemen Ahok, tapi ketika nasi sudah menjadi bubur usaha kita adalah mencegah sehabis-habisnya agar perpecahan tidak terjadi. Karena itu, LHS punya perhatian agar umat dijauhkan dari hoax, fake news, dan berita palsu. LHS mendorong agar PTKIN dan tokoh-tokoh masyarakat meningkatkan literasi digital dan medsos pada umatnya. Literasi media sosial umat sangat penting, karena menurut LHS, sekarang bukan lagi hanya umat bersifat fisik tapi juga 'umat digital'---umat yang menggunakan media sosial sebagai alat 'dakwah' dan berkomunikasi. Umat digital tidak mengenal batas-batas Negara dan unit-unit kebangsaan. Itulah sebabnya, mengelola umat digital jauh lebih rumit. LHS dalam kontek ini menyerukan perlunya pendidikan atau literasi digital bagi umat.
Hoax, fake news, dan berita palsu bukan saja menurunkan IQ masyarakat, tapi yang lebih berbahaya adalah munculnya perpecahan. LHS dalam beberapa pernyataannya mengaitkan hoax dengan kasus terbunuhnya 3 khalifah yang utama (khulafa al rasyidin). Utsman bin Affan terbunuh saat hura-hara terjadi akibat berita palsu. Pembunuhnya bahkan seorah Hafidh al Qur'an. Terbunuhnya Ali bin Abi Thalib juga karena hoax yang beredar di kalangan umat. Contoh korban hoax adalah kasus terbuhunya para Kyai tahun 1998 (?) dengan isu dukun santet. Contoh-contoh lainnya dapat diberikan. Nah dengan umat digital semacam ini, maka perlu ada pengajian digital, literasi digital, dan meningkatkan pendidikan umat agar makin berwawasan luas. Jika ini dilakukan, maka hoax akan menurun. Produsen hoax kehilangan pasar dan akan mati sendiri.
Dari hal-hal di atas, LHS dapat disebut sebagai Menteri Agama dengan perhatian luas terkait dengan kondisi umatnya. Meski beliau seorang politisi dan aktif dalam PPP, namun mampu menempatkan dirinya secara proporsional. Umat menjadi bidang garapan yang serius dan memperoleh perhatian besar. Itulah sebabnya, LHS dalam sebuah kesempatan di Rakernas Pimpinan PTKIN dan Kanwil selalu mendorong agar serapan anggaran sehabis-habisnya diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di samping menghasilkan dampak-dampak bagi pembangunan. Pelayanan dan pelayanan adalah perhatian beliau.
Mudhofir Abdullah
 Surakarta, 15 Februari 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI