Menyaksikan tayangan dan berita-berita tentang eksekusi mati terpidana narkoba Jumat yang lalu, saya merasa sedih dan menahan haru. Di kedalaman hati, saya merasa kasihan pada mereka. Tapi kalau hukuman ini tidak dilakukan seolah tak ada tindakan apa-apa atas orang-orang yang telah merusak generasi muda bangsa. Ada perasaan mendua.Â
Pro dan kontra atas hukuman mati ini sah-sah saja. Terlepas dari itu semua, hati kecilku menangis. Pertanyaan-pertanyaan saya adalah membalik, bagaimana jika itu saya? Jika saya yang menghadapi eksekusi mati itu, bagaimana rasa takutnya? Bagaimana bayangan-bayangan tiap detiknya adalah teror? Jika waktu seluruhnya menyiksa dan membuat denyut nadi penuh dengan hantu-hantu kematian?.
Benar bahwa semua makhluk hidup akan mati. Tapi kita diuntungkan tidak sepenuhnya tahu di detik mana kita akan mati. Dari ketidaktahuan kita akan detail-detail waktu kematian, membuat kita terus memiliki harapan. Harapan adalah karunia terbesar yang pernah diberikan Tuhan kepada manusia. Karena 'harapan' manusia punya semangat untuk terus hidup--betapa pun susahnya hidup itu. Tapi bagaimana perasaan para terpidana jelang detik-detik penembakan itu dilakukan? Kepasrahan? Atau takut sehabis-habisnya sehingga tak sadarkan diri sebelum ditembak mati? Apa pun, kematian yang diketahui oleh diri sendiri adalah sangat menyakitkan.
Ini membuat kita bertanya, masih relevankah hukuman mati diterapkan?
Surakarta, 01-08-2016
Oleh: Mudofir alias Mudhofir Abdullah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H