Deretan papan kayu ulin ini rasanya makin keras saja bersuara setiap kali diinjak hari demi hari. Beberapa bagian juga lobang. Kemarin pas istirahat, Iwan main polisi-polisian dengan Jarwo. Iwan lari seperti kesetanan karena takut ditangkap polisi Jarwo. Sampai di depan ruang kelas tiga, kaki Iwan terjebak ke lubang lantai. Tak parah, cuma lecet sedikit tapi Iwan heboh. Ia meraung-raung seperti macan kena tembak hidungnya. Jarwo panik, ia takut dan ikut-ikutan nangis, melolong bak babi hendak beranak tak kalah dengan Iwan. Keduanya baru tenang, saat Bu Aisyah memberi mereka berdua gulali. Lalu keduanya berhambur padaku sambil senyum-senyum memamerkan gulali dari Bu Aisyah.
“Kampret,” Batinku.
Memang begitulah kedua temanku ini. Iwan, lengkapnya Iwan Budiman. Bocah berumur sepuluh tahun kelahiran Klaten ini memiliki postur kerempeng dengan rambut sekaku lidi. Hanya kedua kaki mungilnya yang kelihatan agak berotot karena setiap hari menggayuh pedal sepeda menembus jalan perkebunan tak kurang sepuluh kilometer. Iwan sudah diboyong ke sini sejak umurnya belum genap tujuh bulan. Kedua orang tuanya bekerja sebagai di kebun sawit milik perusahaan. Iwan ini rupanya bukan sembarang orang, ia selalu menjadi pusat perhatian para guru. Setiap pelajaran Iwan selalu aktif bertanya ini itu, sering kali jam pelajaran habis hanya untuk meladeninya. Setelah panjang lebar dijelaskan, ia manggut-manggut seolah sudah paham, namun jangan tertipu. Keesokan harinya bila ditanya soal pelajaran kemarin tak bakalan Iwan paham. Ingatannya tak tahan sampai dua puluh empat jam. Bila ditanya cuma bisa nyengir, menunjukan gigi serinya yang copot satu. Rangking Iwan selalu bertahan di tataran lima besar. Lima besar dari bawah.
Satu lagi rekanku namanya Jarwo. Ia adalah juara bertahan lomba makan krupuk setiap tujuh belasan. Hampir sama dengan Iwan, Jarwo juga merupakan keturunan Jawa. Hanya saja kedua orang tua Jarwo sudah merantau saat mereka masih muda, ikut program transmigran. Kini kedua orang tua Jarwo sudah memiliki kebun sawit hektaran luasnya berkat jerih payah mereka. Sebenarnya Jarwo bisa dibilang anak yang kurang diinginkan. Saat Jarwo lahir ketiga kakaknya sudah berumah tangga, kedua orang tuanya pun sudah tua. Jadilah si Bontot Jarwo ini menjadi kesayangan keluarga. Asupan nutrisi tiada henti membuat Jarwo bertubuh lestari. Berbeda dengan Iwan yang hiperaktif di kelas, Jarwo adalah tipe-tipe pelor. Nempel molor. Belum ada lima belas menit masuk kelas, sudah bisa dipastikan ia sudah ngiler di bangku dan baru sadar saat istirahat.
Selain mereka berdua sama-sama bertahan di urutan lima dari bawah sejak kelas satu, persamaan dari keduanya adalah mereka berdua sama-sama kampret. Ya misalnya cerita lantai papan bolong kemarin.
Kami bertiga belajar di sebuah bangunan dari kayu yang kami sebut sekolah. Bangunan dari kayu ini hasil Inpres tahun 1975 kata orang-orang. Sejarahnya pada masa itu Pak Harto memerintahkan agar membangun sekolah-sekolah SD di seluruh Indonesia. Aku tak tahu bagaimana bangunan sekolah di pulau Jawa sana. Dengar-dengar meski sama-sama program inpres, di Jawa sudah pakai semen bukan kayu lagi. Di sini pakai kayu karena pada kala itu belum ada akses jalan ke tempat ini, bahan bangunan susah didapat. Lagipula tak masalah pakai kayu, toh para aparat pengawas juga tak bakal tahu. Sudah tentu mereka malas datang ke pedalaman seperti ini.
Aku, Iwan, Jarwo dan teman-teman di sini adalah generasi masa kini. Putra-Putri Ibu Pertiwi yang hidup, belajar dan bermain di wilayah pedalaman Kalimantan. Kini sudah tak seperti dulu. Bila dulu kampung kami ini benar-benar terpencil, kini sudah agak mendingan. Kini sudah ada jalan latrit1 bekas perkebunan. Listrik pun sudah masuk sejak lima tahunan lalu meski cuma nyala pada malam hari saja dan lebih sering mati dari pada hidup. Sejak dibangun puluhan tahun lalu tak ada yang sekolah di tempat kami. Baru sekitar sepuluh tahun lalu saat di sini mulai ramai dan Bu Aisyah masuk, sekolah ini punya murid. Itu pun baru puluhan orang.
“Mad,” Kata Jarwo setengah berbisik.
“Apa Wo?” Tanyaku.
“Kata Ustadz Imron, kita ga boleh kencing sembarang di lubang-lubang. Katanya lubang itu tempatnya setan Mad,” Wajah Jarwo tampak serius.
“Terus? Emang kamu kencing dimana?” Tanyaku.