Upaya-upaya pencegahan dan promotif kepada masyarakat, peningkatan infrastruktur pencegah penyakit seperti menjaga higine pribadi serta lingkungan yang bersih bukanlah program yang menarik untuk dijual. Masyarakat kita akan sangat mengapresiasi kepada pemerintah yang menyediakan obat dan dokter gratis, bukan bagaimana mencegah agar mereka tidak sakit.
Memilih pemimpin berarti memilih program-programnya. Gubernur yang layak dipilih seharusnya seseorang yang memiliki program rasional, sederhana serta memiliki target jelas dalam mensejahterakan rakyat di segala bidang termasuk kesehatan. Selain karena menyangkut sesuatu yang esensial (nyawa) dalam kehidupan manusia, bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan derajat hidup manusia. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) serta Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals, MDGs) yang digagas oleh PBB menempatkan program kesehatan sebagai salah satu indikator penting dalam pembangunan, selain sektor pendidikan dan ekonomi. Berpedoman kepada hal tersebutlah, sudah menjadi kewajiban kita untuk mempelajari serta mengkritisi program-program para calon pemegang amanah kita nantinya terutama yang berkaitan dengan kesehatan. Pada tulisan ini kami hanya ingin memfokuskan diri pada beberapa program yang muncul di media serta menjadi polemik di kalangan masyarakat, baik pro maupun kontra.
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)
Dari beberapa program yang akhir-akhir ini berkembang di media serta diperbincangkan oleh banyak pihak, program JKA masih menduduki peringkat teratas program kesehatan yang paling banyak dibicarakan. Selain karena dianggap sebagai salah satu program pro rakyat yang paling berhasil, program yang digagas pada masa pemerintahan Irwandi-Nazar (mantan gubernur dan wakil gubernur periode lalu) dan baru terealisasi pada awal tahun 2010 ini menjadi berita besar karena melibatkan banyak uang dan objek penerima mamfaat didalamnya. Selain itu, saling klaim sebagai penggagas program akhir-akhir ini menimbulkan sengketa yang tajam antar calon gubernur, ditambah dengan foto mantan gubernur Irwandi dalam kartu JKA yang dianggap sebagai upaya kampanye terselubung seorang calon gubernur dengan memamfaatkan fasilitas negara.
Program yang disebut-sebut sebagai jaminan kesehatan universal pertama di Indonesia ini tak lebih dari sekedar program ‘Anda senang, Saya senang’ tanpa memiliki tujuan yang jelas serta sarat dengan nuansa politik. Penegasan ini bukannya tidak beralasan, tapi berdasarkan fakta di lapangan seperti yang kami kemukakan berikut. Pertama dilihat dari aspek perencanaan, pelaksanaan serta monitoring program yang masih buruk. Pendataan penerima mamfaat dari program ini hingga kini belum tuntas dan masih banyak menyisakan masalah. Data lebih 2 juta rakyat yang menjadi cakupan program ini masih samar-samar. Hal tersebut menjadikan penerima mamfaat dari JKA tumpang tindih dengan program dari pemerintah pusat seperti Askeskin dan asuransi kesehatan (Askes) bagi PNS, Polisi dan TNI serta asuransi swasta. Kedua, target utama yang menjadi permasalahan kesehatan di Aceh belum tertangani dengan baik. Angka-angka statistik sebagai indikator kualitas kesehatan suatu daerah belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Memang Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebagai indikator universal pembangunan sektor kesehatan di Aceh relatif lebih baik bila dibandingkan dengan provinsi lainnya, tetapi tren perbaikan setelah program JKA tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Meskipun data statistik untuk kedua indikator tersebut belum dikeluarkan secara resmi oleh dinas terkait, tetapi beberapa media menyebutkan bahwa masih ditemukannya AKI dan AKB yang tinggi di Aceh mengutip pernyataan beberapa pejabat daerah. Alasan ketiga yang menunjukkan bahwa program belum bisa dianggap berhasil adalah kualitas layanan yang selalu menjadi momok masyarakat sehingga berbondong-bondong berobat ke negara tetangga, hingga saat ini belum banyak mengalami perubahan yang berarti. Indikator sederhananya ialah berita yang kita baca setiap hari masih memberitakan pelayanan kesehatan yang belum memadai diterima oleh pasien, baik di Puskesmas maupun rumah sakit.
Program ini memang mendapat apresiasi positif dari masyarakat bawah. Menjadi hal yang wajar jika sesuatu yang gratis menjadi keinginan semua orang. Bukan hanya masyarakat yang menjadi objek JKA (pasien) yang merasa senang akan program ini, tenaga kesehatan juga ikut bahagia. Mendapat tunjangan beberapa juta sampai puluhan juta rupiah per bulan tentu belum pernah dirasakan oleh mereka pra program JKA dicanangkan. Bagi pembuat kebijakan, JKA memberikan keuntungan besar. Mengelola dana ratusan milyar rupiah tanpa ada evaluasi dan monitoring yang berkesinambungan dari pihak terkait dan LSM, tentu merupakan keinginan sebagian pejabat di negeri ini. Bagi calon gubernur, klaim mengklaim program bahwa JKA merupakan gagasan mereka akan meningkatkan simpati masyarakat dan berimbas positif dalam perolehan suara pada Pilkada. Tetapi apakah pencapaian program ini sejalan dengan uang yang dikeluarkan, itu urusan lain. Kenyataan bahwa program ini nol besar ini tidak disadari oleh masyarakat.
Yang paling menyedihkan adalah alokasi dana untuk upaya-upaya pencegahan (preventif) yang seharusnya mendapat porsi lebih besar dari upaya-upaya pengobatan (kuratif) seakan-akan terabaikan dalam program ini. Pemerintah lebih memperhatikan upaya pengobatan yang memang pada kenyataannya disenangi oleh masyarakat karena selama ini masyarakat selalu mengeluh dengan biaya yang dikeluarkan untuk berobat. Tapi sebagai pembuat kebijakan, pemerintah seharusnya mengerti bahwa memanjakan masyarakat dengan memberikan mereka obat dan dokter gratis tidak akan banyak mengubah kualitas kesehatan. Sehingga alokasi dana yang lebih berimbang untuk program pencegahan mutlak diperlukan. Upaya ini memberi efek positif bagi pembangunan kesehatan di satu sisi dan ikut menyenangkan masyarakat disisi lainnya. Hal tersebut juga sejalan dengan upaya mengubah perilaku masyarakat sehingga mereka menjadi bertanggung jawab terhadap kesehatan pribadi dan lingkungan. Pola pikir lebih baik mencegah daripada mengobati harus ditanamkan kepada masyarakat. Di negara-negara maju yang sistem kesehatannya sudah sedemikian bagus serta tingkat pendidikan rakyat yang juga sudah tinggi seperti di Jerman, tanggung jawab kesehatan merupakan tanggung jawab individu. Masyarakat harus membiayai sendiri asuransi kesehatannya dengan harga yang mahal. Selain itu, karena mereka telah memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga kesehatan, higinitas pribadi dan kesehatan lingkungan sekitar menjadi kebutuhan bagi mereka.Pemerintah hanya bertugas memfasilitasi sistem kesehatan termasuk menyediakan instrumen kesehatan yang diperlukan serta pembiayaan riset yang mumpuni yang kemudian akan menciptakan masyarakat sadar kesehatan dan riset kesehatan yang berkembang.
Dokter Malaysia
Keinginan mendatangkan dokter dari Malaysia untuk mengurangi meningkatnya masyarakat Aceh yang berobat ke sana dilontarkan oleh pasangan calon gubernur dari Partai Aceh (partai lokal terbesar di Aceh) baru-baru ini. Pernyataan yang diulang pada setiap kesempatan tersebut menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Kami menilai program ini terlalu prematur untuk dijalankan serta tanpa ada pemikiran yang konfrehensif terhadap mamfaat dan mudharatnya. Ada beberapa alasan yang menyebabkan program di atas kertas ini sulit untuk dijalankan. Alasan yang pertama adalah program tersebut nantinya akan terbentur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya berkaitan dengan Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UUPK) yang membatasi warga negara asing untuk melakukan praktek kedokteran di Indonesia. Selain harus mejalani program adaptasi atau persamaan yang membutuhkan waktu satu tahun bahkan lebih sesuai dengan pasal 30 dalam undang-undang tersebut, dokter lulusan luar negeri harus mengantongi surat tanda registrasi dokter yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Program ini bisa saja terlaksana jika penerapan beberapa ayat-ayat dalam UUPK dieliminir sesuai dengan keistimewaan Aceh dalam bidang kesehatan seperti yang termaktub pada Bab 23 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Selain itu, program mendatangkan dokter dari Malaysia akan mendapat tantangan keras dari pihak kesehatan di Aceh maupun nasional. Kondisi ini juga harus diperhatikan oleh para calon gubernur sebelum membuat sesuatu program yang berkaitan dengan orang banyak. Setiap tahun terjadi peningkatan jumlah dokter yang diluluskan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan Abulyatama sebagai ‘pencetak‘ dokter di Aceh. Selain itu, dokter-dokter spesialis berbagai bidang lulusan dalam negeri akan terus bertambah setiap tahun. Jika program ini jadi dilaksanakan, dokter-dokter tersebut tentunya akan mencari pekerjaan lain yang lebih layak, baik itu di luar daerah maupun di luar negeri, yang nantinya malah menjadi kontra produktif terhadap pembangunan kesehatan di Aceh.
Selain alasan-alasan yang penulis sebutkan tadi, program tersebut menjadi tidak realistis ketika kita melihat aspek biaya yang akan dikeluarkan. Kita tahu gaji dokter di Malaysia beberapa kali lebih besar dari yang diterima oleh dokter di Aceh. Sehingga dengan diberlakukan program ini, anggaran akan membengkak khususnya pada alokasi gaji. Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi tim sukses calon gubernur yang memaparkan program ini.
Padahal akar permasalahannya adalah bukan pada keberadaan dokter lokal maupun kedatangan dokter dari Malaysia, tetapi lebih kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Aceh. Dalam sebuah tulisan pada media ini beberapa tahun lalu, penulis memaparkan bahwa meningkatnya masyarakat Aceh yang berobat ke Malaysia minimal disebabkan oleh dua faktor; faktor internal masyarakat kita yang kurang percaya pada kualitas produks lokal sehingga menganggap bahwa barang impor selalu lebih bagus, dan faktor eksternal termasuk pelayanan kesehatan yang buruk di Aceh yang dipengaruhi oleh watak dan sikap tenaga kesehatan, kurangnya ketersediaan alat, serta kesejahteraan yang kurang dari orang yang terlibat dalam sektor pelayanan kesehatan. Seandainya faktor-faktor tersebut bisa dicarikan solusinya, maka permasalahan utama meningkatnya wisata kesehatan ke Malaysia bisa tertanggulangi, bukan malah menimbulkan masalah baru dengan mendatangkan dokter dari negara tersebut.
Program berdasar Masalah (Problem Based Program)
Program-program apa saja yang seharusnya dipikirkan oleh para pemimpin nanggroe tersebut dalam menciptakan program kesehatan pro rakyat yang logis dan mempunyai target yang jelas? Menurut penulis, ada beberapa program prioritas dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan di Aceh yang selayaknya mendapat perhatian lebih para cagub yang bertarug pada Pilkada tahun ini. Program-program tersebut seharusnya disusun berdasarkan kepada masalah yang kini sedang kita hadapi.
Masalah yang masih kita hadapi dalam bidang kesehatan adalah angka-angka statistik yang masih mencatat daerah kita sebagai provinsi dengan angka penyakit menular dan tidak menular tertinggi di Indonesia. Kita masih menjadi salah satu ‘raja‘ penyumbang penderita demam berdarah, malaria, filariasis serta beberapa penyakit infeksi lainnya. Selain itu, angka-angka statistik juga menempatkan kita dalam deretan daerah rawan penyakit metabolik seperti jantung, diabetes dan kanker. Tambahannya lagi, kita masih dipusingkan dengan angka kematian ibu dan bayi baru lahir seperti yang penulis jelaskan di awal tadi.
Untuk mengatasi segala masalah-masalah tersebut, berbagai program utama dan pendukung sangat dibutuhkan. Program pencegahanan (preventif) serta promotif seharusnya menjadi prioritas utama. Menyediakan sanitasi yang baik dirumah-rumah, WC umum di desa-desa, pemberantasan sarang nyamuk, serta sosialisasi pentingnya higienitas diri dan menjaga lingkungan akan sangat membantu dalam mengurangi angka penyakit infeksi dalam masyarakat khususnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Sosialisasi tentang pentingnya menjaga pola hidup sehat, razia terhadap makanan yang dijual di pasar, khususnya bagi anak-anak, surveilans (pemantauan langsung) dari rumah-rumah secara rutin akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian penyakit non infeksi seperti penyakit jantung dan diabetes.
Tentunya segala program sederhana yang kami sampaikan tadi akan tidak berjalan dengan baik tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan juga ketersediaan alat-alat penunjang. Tantangan sumber daya manusia memang tidak hanya di alami oleh negara kita saja, banyak negara maju lainnya masih berkutat untuk menghasilkan sumber daya kesehatan yang handal dan dapat dipercaya dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Selain itu, aspek pelayanan memang selalu menjadi masalah di negara kita. Ini mungkin saja diakibatkan oleh rewards and punishment yang tidak dijalankan dalam penegakan disiplin dalam bidang kesehatan. Hadiah seharusnya diberikan kepada petugas kesehatan yang memilki etos kerja baik dan disenangi oleh masyarakat, sebaliknya hukuman yang setimpal harus diberikan kepada petugas kesehatan yang lalai dan mengabaikan pasiennya, tentunya setelah melewati prosedur pembuktian yang berlaku.
Salah satu hal yang hingga kini masih dikeluhkan oleh masyarakat adalah harga obat yang tinggi. Harga obat ini tidak bisa dilepaskan dari rantai distribusi yang panjang dari produsen ke konsumen (masyarakat). Hal ini tidak hanya terjadi di Aceh saja, tetapi di seluruh provinsi di Indonesia. Adanya kong kalikong antara dokter dengan pihak farmasi dalam bisnis ini makin memperparah kondisi distribusi obat hingga sampai ke tangan pasien. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah Aceh seharusnya mempertegas aturan dalam distribusi obat. Dengan kewenangan yang kita punya melalui UUPA, pemerintah Aceh bisa saja turun tangan dalam pengelolaan distribusi obat dari produsen ke konsumen sehingga rantai penyaluran yang kompleks dapat dipermudah. Upaya ini akan mengurangi cost yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membeli obat. Sosialisasi penggunaaan obat generik bagi kalangan dokter juga sangat penting, karena dengan tangan merekalah resep-resep obat generik yang akan digunakan oleh masyarakat akan dibuat. Iklan penggunaan obat generik yang saat ini kita dengar di radio tidak tepat sasaran karena ditujukan kepada masyarakat awam yang hanya sebagai objek dari penggunaaan obat tersebut.
Selebihnya, hanya niat dan keinginan yang tulus lah semua program kesehatan yang telah direncakan akan terealisasi dengan baik. Mengelola program kesehatan berbeda dengan mengelola program-program lainnya karena menyangkut jiwa dan nyawa manusia sebagai sesuatu yang paling esensial di dunia ini. Oleh karena itu sudah sewajarnya lah bidang ini dikelola dengan hati nurani serta mendapatkan prioritas bagi calon gubernur. Korupsi serta tindakan-tindakan yang melanggar hukum lainnya akan memberikan efek negatif dalam pelaksanaan program kesehatan. Uang yang dianggarkan ratusan milyar akan menjadi sia-sia jika sebagian daripadanya masuk ke kantong para pelaksana kebijakan. Hanya dengan hati nurani yang bersihlah serta didorong dengan keinginan kuat membantu orang yang susah maka kita akan mencapai kemajuan di segala bidang, termasuk kesehatan. Hati nurani yang bersih akan hadir dalam hati orang yang selalu takut kepada Tuhan dalam setiap langkahnya. Peningkatan kualitas kesehatan di Aceh terletak ditangan kita seluruh masyarakat Aceh untuk memilih pemimpin yang jujur dan amanah sesuai dengan hati nurani kita sehingga nantinya program-program pemimpin tersebut akan selalu menyentuh segala lapisan masyarakat.
Muhsin Abdul Gani
Seorang dokter, kandidat Doktor pada Rumah Sakit Universitas Bonn, Jerman.
Website: www.doktermuhsin.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H