Pameran Lukisan Terhalang, Sejarah Kembali Berulang
Oleh Muchwardi Muchtar
"Dan, sejarah pun terulang. Pameran lukisan batal melenggang, karena si pelukis tidak mengikuti ketentuan setempat agar beberapa lukisan yang dibuatnya jangan ikut dipajang", demikan tanggapan awal saya ketika membaca berita tersebut via medsos (20/12/24).
Beberapa versi berita dalam memberitahukan kejadian yang pertama kali terjadi paska era reformasi (1998) tersebut viral dimana-mana. Guna mencegah berkembang liarnya persepsi dan opini atas batalnya pameran lukisan bertajuk "Kebangkitan : Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" karya Yos Suprapto tersebut, Galeri Nasional Indonesia cepat tanggap. Â GNI sebagai instansi yang selama ini aktif menyimpan dan memamerkan lukisan serta karya seni rupa lainnya, buka suara. GNI sebagai museum khusus yang dimiliki pemerintah pusat dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomitmen untuk memberikan informasi lebih lanjut terkait langkah berikutnya. "Kemungkinan jadwal baru untuk pameran ini dengan konten yang sesuai tema pameran akan digelar GNI".
Jika sebuah kebijakan yang lahir di bawah organisasi pemerintah ---meski keputusan tersebut belum tentu lahir dari kebijakan Presiden RI yang tengah berkuasa--- buntutnya sudah tentu merembet kemana-mana. Dan itu terjadi. Â "Sepertinya watak aparatur negara ini sedang kembali ke zaman kolonial dan praktik sebelum reformasi. Hanya penjahat politik sajalah yang takut pada karya seni, dan sejarah sudah membuktikan itu di Indonesia. Orde baru sudah bangkit kembali," ujar seorang tokoh parpol melalui Sindonews.com (20/12/24).
"Yang berkuasa itu sebenarnya kurator," kata Fadli Zon (tempo.co, 21/12/24), selaku seniman yang kini jadi Menteri Kebudayaan RI. Mantan aggota DPRRI yang pernah beberapa tahun menjadi Pimred majalah sastra Horison tersebut dengan bijak menanggapi pembatalan pameran tunggal seniman Yos Suprapto oleh Galeri Nasional Indonesia. Jadi, selaku kurator Pimpinan GNI berkuasa sepenuhnya 'menghitam putihkan' lukisan-lukisan yang akan dipajang. Kebijakan ini tidak ada hubungannya dengan 'penjahat politik' (yang mungkin ada dalam pemerintahan?) yang takut pada karya seni.
Ada moto klasik yang universal dan berlaku di segala zaman : "seni adalah untuk seni". Siapa pun yang berkuasa di sebuah negeri, moto ini tetap berlaku dalam kehidupan masyarakat madaninya. Apalagi dihubungkan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang sudah lama diratifikasi republik Indonesia. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas. Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan terhadap hak material dan hak moral dari karya ilmiah, kesusastraan, atau kesenian yang ia ciptakan.
Sedangkan Konvensi Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya telah diratifikasi Indonesia tahun 2012, mendefinisikan kebebasan berkesenian sebagai kebebasan untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan beragam ekspresi budaya. Kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, menggarisbawahi, bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran dalam bentuk karya seni. Dan, yang lebih konkret lagi kebebasan berkesenian juga mencakup hak untuk bebas dari sensor pemerintah, intervensi politik, atau tekanan dari aktor non-negara.
Ketika ada pameran karya seni yang bernama lukisan, batal digelar karena tidak adanya kesesuaian dengan kurator, saya malah teringat kisah purba di zaman orde baru. Komentar salah seorang Ketua DPP parpol di atas  ---yang menyatakan kekuatan Orba bangkit--- mencairkan kembali memori saya terhadap nasib pelukis Hardi, rahimahullah, yang gara-gara sebuah lukisan sempat "diciduk" kekuasaan orde baru untuk diinterogasi beberapa hari (1979).
Meski suasana dan nuansanya berbeda, namun permasalahan yang terjadi nyaris sama, yaitu kebebasan berekpresi dalam seni lukis dibelenggu kekuasaan. Jika yang dialami pelukis Hardi dibelenggu Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya (Laksusda Jaya), maka Yos dibelenggu oleh persyaratan kurator yang berkuasa di GNI.
Jika dalam beberapa karya lukisan Yos (Desember 2024) ada lukisan "yang dipahami kurator" (GNI) satire terhadap tokoh yang selesai berkuasa di RI, maka dalam lukisan Hardi (Desember 1979) ada sebuah lukisan "yang dipahami Laksusda Jaya" mengritik tokoh yang tengah berkuasa di RI. Bahkan judul lukisan (potret diri si pelukis sendiri) tersebut cukup dahsyat : "Suhardi Presiden RI 2001".