Membuat Novel Untuk Menggaet Nobel Tidak Simpel
Oleh Muchwardi Muchtar
"Meski aku bukanlah seniman seperti Anda, namun aku pernah juga membaca, bahwa Plato (427 SM -  347 SM) guru dari Aristoteles, mentah-mentah menolak ajakan Penguasa Athena untuk dipekerjakan di belakang meja. Aku belum lupa dengan surat  yang Anda kirimkan ke alamat SSK-Sasebo, Japan tempo hari. Antara lain Anda menceritakan, bahwa Djokolelono pengarang fiksi anak-anak nan produktif  itu, pernah 'dilarang' Ayip Rosidi untuk bekerja di kantor.  Ayip takut, kalau Djoko bekerja pada sebuah kantor kreativitasnya akan mandul! Begitu juga dengan penyair Chairil Anwar,  kabarnya  Chairil adalah manusia yang tak betah duduk di belakang meja kantor.Â
Memang kami tahu, Anda bukanlah Plato, bukan Djokolelono, dan bukan Chairil Anwar. Sejarah telah mempatrikan pada kita, bahwa karya yang gemilang itu lahirnya adalah di saat si penciptanya sedang terinjak, terlibat dan penuh dengan pelbagai kebutuhan. Karya yang lahir di atas kemewahan fasilitas, keempukan kursi....akan terasa hambar, dan biasanya pun tak langgeng".
***
Dua paragraf yang dikutip dari novel PERJALANAN karya Muchwardi Muchtar, Â halaman 188-189, terbitan Hyang Pustaka, 2023 tersebut di atas, memberangkatkan saya untuk membicarakan sebuah novel (yang katanya tetralogi) Â yang diluncurkan menjelang melengsernya presiden Jokowi (20-10-2024) yang lalu.
Sebuah novel ---dengan target meraih hadiah  nobel (?)--- telah diedarkan via medsos awal September 2024 yang lalu. Saya tidak tahu apakah novel karya Sugiono MP yang berjudul MENJEMPUT MATAHARI, Perjalanan Jokowi Presiden Indonesia (MM-PJPI), 190 halaman,  tersebut laris manis atau malah menjadi bagai "sebuah kartu nama" yang dibagi-bagikan kepada orang ramai agar sudi dibaca, kemudian dibahas dalam rubrik apresiasi dan kritik di media massa atau medsos.
Bisakah novel karya pengarang dari Indonesia meraih hadiah nobel bidang kesusasteraan yang sangat bergengsi tersebut? Kenapa tidak...!!
Sependek ingatan saya novel Indonesia yang pernah diusulkan untuk mendapatkan Nobel Sastra adalah karya NH Dini (Pada Sebuah Kapal) pada tahun 2009. Pencalonan ini diajukan oleh PEN Club Indonesia dan diterima oleh Komite Hadiah Nobel di Stockholm, Swedia. Jauh-jauh sebelumnya, novel Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia) juga pernah disusulkan sebagai kandidat penerima Nobel Sastra, namun tidak pernah berhasil. Beberapa spekulasi terkait hal ini, di antaranya adalah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris yang buruk
Sedangkan mengenai novel MM-PJPI yang digadang penulisnya untuk meraih hadiah nobel, perlu kita telaah dulu. Apakah bobot yang dikandungnya setara dengan novel Pram atau Dini? Seorang teman saya Wina Armada Sukardi yang multi talenta (pengacara, wartawan, juri diberbagai festival film, dan penyair) Â di awal novel beredar menulis via WA ke Hape saya, bahwa MM-PJPI hampir tidak memberikan suatu informasi baru apapun, termasuk latar belakang atau inside strory tentang Jokowi. Semua bahan dan cerita dalam buku ini sudah banyak beredar dan diketahui. Kisahnya merupakan kisah tentang perjalanan Jokowi yang sudah berserakan dimana-mana.