Hukuman Bagi Yang Ingat Memasang Lupa Mencopot
Oleh  Muchwardi Muchtar
Pekan lalu dalam perjalanan pulang kembali ke rumah ---dari menghadiri hajatan seorang teman di rumahnya---- saya melewati jalanan di daerah Pasarminggu, Jakarta Selatan dan Pasarebo, Jakarta Timur. Karena suasana libur (agak) panjang, maka sepanjang jalanan yang saya lalui ---yang hari-hari biasa macet--- saat itu bisa dinikmati dengan seksama.
Dalam perjalanan kembali ke Bekasi ini saya memang sengaja (back to basic), yaitu  sepenuhnya tidak menggunakan jalan tol prabayar, tapi memakai jalan arteri atau jalan biasa yang berada di sekeliling jalan tol. Saya mencoba bernostalgia dengan jalanan yang saya lalui. Masih lekat dalam ingatan saya, jalan sempit yang saya lewati ini doeloenya sebelum "proyek jalan berbayar" dipopulerkan di Indonesia adalah jalan utama yang dibanggakan oleh Gubernur DKI Jaya (Letjen Marinir TNI AL Pur.) H. Ali Sadikin.
Ketika mengemudikan mobil yang didampingi istriku selaku co-pilot, kami menemukan beberapa "tontonan" di pinggir kiri atau kanan jalanan yang dilewati. Dan, pemandangan yang sebetulnya tidak perlu ada ini, menggerakkan jari jemari saya untuk menkomunikasikannya dengan Anda via Kompasiana.
Di pertigaan jalan kecil yang menuju perkampungan setempat, saya melihat bangkai janur yang sudah berwarna cokelat kehitam-hitaman. Tampaknya janur yang tadinya pasti kuning, indah dan penuh keceriaan itu sudah sangat lama sekali dipajang di pertigaan tersebut. Dan saya yakin, jika (pengantin) yang punya hajatan resepsi pernikahan tersebut sedang berada di rumahnya, ketika kami lewat mungkin tengah hamil >3 bulan. Begitu lamanya prakiraan saya menyangkut umur janur tersebut dipajang di sana.
Ketika kami belok kiri melewati jalan Condet Raya menuju PGC Cililitan, Jakarta Timur, kembali mata saya melihat sebuah janur berwarna cokelat di sebelah kanan jalan yang "berkibar ditiup angin". Lagi-lagi hati kecil saya mengatakan bahwa janur yang tadinya indah dan asri ini sudah "expired" untuk dipajang di perempatan tersebut.
Kenapa bisa terjadi penyakit "ingat memasang lupa mencopot ini" cukup berkembang di sementara masyarakat kita? Sependek ingatan saya ---guna menata kehidupan masyarakat Indonesia yang madani--- pemerintah sudah menyediakan perangkat hukum untuk tertibnya segala bentuk aktivitas manusia. Namun kenyataan yang kita lihat, dimana-mana selalu terjadi pembiaran.
Hal yang sama juga terjadi dalam pesta demokrasi yang tengah berlangsung di masyarakat Indonesia saat ini sampai beberapa bulan ke depan. Pemasangan spanduk atau baliho atau "pamflet ala penjual kecap" bertebaran dimana-mana.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas teknis pemasangan yang kadang dilanggar. Karena pada Pasal 71 (Undang-undang  No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) ada disebutkan tempat umum yang dilarang ditempelkan bahan kampanye yakni, tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik dan/atau taman dan pepohonan.
Yang membuat saya miris adalah masih ada kelihatan spanduk, pamflet, atau janur (seperti yang diceritakan di awal tulisan ini) yang masih tetap mejeng di mana-mana, padahal "waktu tayangnya" ---Pileg 24-2-2024--- sudah usai tujuh bulan yang lalu. Bila mengacu kepada ketentuan dan perundang-undangan mereka yang bertanggung jawab selaku pemasang alat peraga out door tersebut, harus mencopot, dan mengembalikan suasana asri di bekas tempat pemasangan seperti semula.