Gunung Sirabungan berada sekitar 4 km dari Jorong Sipisang, Nagari Nan Tujuh, Kecamatan Palupuh. Gunung Sirabubungan hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki, meliwati empat jembatan bambu sederhana dan sedikit mendaki. Kiri kanan menuju Gunung Sirabungan, adalah ladang dan lahan kebun buah-buahan dan rempah.
Dari Mesjid Nurul Hikmah sebuah masjid cagar budaya yang berumur lebiih dua abad, berjalan sekitar 1 km di jalan lingkungan yang di "ditembok/cor", setelah itu adalah jalan setapak berbatu dan lembab. Mesjid Nurul Hikmah yang berusia lebih dua abad, 42 km dari kota Bukittinggi arah ke Medan. (lihat " Menjelang dua Abad Mesjid Nurul Hikmah, Sipisang, kompasiana.com, 24 Januari, 2021 dan , "Lubuk Larangan", Kompasiana.com, 29 Juni 2021)
Rombongan keluarga berasal dari Jorong Sipisang, terdiri dari cucu, anak, menantu serta besan yang termasuk Suku Tanjung Datuk Kayo, hampir 20 orang, mulai dari cucu berusia 4 tahun dan kakek nya berusia 71 tahun, bejalan santai mulai jam 08.30 menuju Gunung Sirabungan. Di belakang dan disamping masjid sepanjang 3 km sungai sudah bersih dan buat kolam ikan.
Dengan menggunakan bronjong dan batu. Kolam ini akan menjadi "Lubuk Larangan", hasil gotong royong Remaja Mesjid dan Jamaah Mesjid Nurul Hikmah. Larangan tidak membuang sampah dan menangkap ikan di "Lubuk Larangan", telah diberlakukan. Bilamana diketahui warga masyarakat membuang sampah atau mengambil ikan, dikenakan sanksi 10 sak semen, atas perbuatan yang dilakukan.
Di Gunung Sirabungan yang kami tuju, berladang dan berkebun salah satu sepupu "Imbot dan suaminya Edy". Di depan rumahnya terbentang ladang berbagai pohon produktif seperti karet, pinang, kulit manis, jahe merah dan tananaman rempah lainnya. Lahan ladang dan kebun dibelah oleh sungai 1diminum tanpa dimasak, memenuhi syarat air yang sehat .
Air sungai berasal dari hulu, Gunung Sirabungan. Aliran air itu di bendung Dengan batu batu besar sehingga menggenang dan dijadikan tempat mandi.
Keluarga Istri saya Yulinar Ismail, kakek dan orang tua nya berladang disana. Lokasi yang subur dan nyaman, meski untuk menuju ke lokasi ini diperlukan stamina yang memadai, keberanian menyeberang empat jembatan bambu yang "bergoyang" dan "Pegangan tangan dari bambu yang Bergoyang" juga.
Sesampai di lokasi terasa lega, anak anak dan cuku langsung nyebur ke kali, menimkmati air bersih bening alami. Bermain air tanpa merasa dingin, meski ketinggian hampir 1.500 m diatas permukaaan laut, dua jam tidak terasa, anugerah alam yang luar biasa dan perlunya disyukuri.
Dengan memelihara kelestarian nya, menjadi bahan "pembicaraan", dengan rombongan.
Meski lokasinya tinggal dan lahan pertanian berada paling hulu, sejak dua tahun yang lalu telah tersambung listrik. Selain penerangan, berguna untuk menghalau binatang perusak tanaman, seperti babi hutan dan kera. Mesin cuci, TV dan peralatan elektronik lain, memberi hiburan dan meringankan tugas rumah tangga.
Sebagai orang Minang, selalu berpijak pada falsafah atas pedoman utama, "Adat bersendi syarak. Syarak bersendi kitabullah. Alam Takambang jadi Guru". Kepedulian atas llingkungan alam lebih kuat. Kepedulian atas alam, terkait jelas denan tingkat keberagamaan orang Minang. Semakin taat dia, maka semakin peduli pada alam dan lingkungan.
Makna lain dari tadabur alam ke Gunbung Sirabungan ini adalah meningkatkan hubungan dengan cikal bakal keluarga empat generasi sebelumnya, nenek dan kakek buyut. Dalam perjalanan ditemui warga Jorong Sipisang, bertegur sapa dan sekaligus anggota rombongan tertua menjelaskan siapa yang ditemui dan siapa saja rombongan tadabur alam ini.
Para cucu, anak-anak dan "urang samando" semakin mengernal keluarga di kampung dan bagaimana tali hubungan kekeluargaan. Makna lain adalah anak, cucu dan rang sumando semakin paham garis kekeluargaan, atas hubungan darah ataupun hubungan sesama suku.
Mereka dengan mudah dapat memetik makna tentang Adat Minang dan alam, kepemilikan lahan dalam masyarakat Minang. Lahan yang dikelola oleh keluarga di Gunung Sirabungan merupakan "Harta Pusaka Tinggi", tidak boleh diperjual belikan, milik suku. dan anggota keluarga hanya mempunyai "Hak Guna". Garis kepemilikan harta pusaka itu, berada pada garis "Ibu".
Para lekaki Minang tidak memiliki harta pusaka ini, hanya sebatas hak guna, selama dia masih hidup. Bila dia meninggal, anak nya tidak berhak, karena harta itu adalah harta pusaka "garis ibunya". Tanah yang digunakan setelah meninggal di kembalikan kepada keluarga "ibunya". Pengecualian tentunya untuk harta pencarian keluarga yang menjadi milik keluarga yang diatur dalam hukum waris menurut Syariat Islam.
Tadabur Alam berlangsung Sabtu 3 Juli 2021, dan pada hari itu adalah hari kelahiran istri saya, tante, nenek dari sebagian rombongan, Hj. Yulinar Ismail, yang dikarunia usia 64 tahun.
Gunung Sirabungan, kolam kali Sirabungan menjadi saksi tasyakuran kami bersama. Allahumma barik fii umrik.. wa barik lana ajmaiin. Semoga Allah memberikan karunia kesehatan pada kami, kesehatan bebas virus covid.19 dan pada waktu mendatang, pulang kampung memperkuat silaturrahmi, kerabatan dan cinta lingkungan dengan pemahamaman atas adat Minang yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H